I.
PENDAHULUAN
Problem pemahaman HaditsNabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk
diangkat. Hal tersebut berangkat dari realitas hadits sebagai sumber kedua
ajaran Islam setelah al Quranyang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al
Quran. Pemahaman terhadap al Quranharuslah diketahui tentang asbabun nuzul
(sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat al Quran). Hal tersebut
mengingat bahwa al Quranbersifat universal dan abadi sehingga ia tidak
berkepentinagan untuk membicarakan hal-hal yang detail atau yang hanya
berkaitan dengan waktu tertentu.
Lain halnya dengan hadits, sebab
ia memang menangani pelbagai problem yang bersifat lokal (maudli’iy),
partikular(juz’iy) dan temporal(‘aniy). Didalamnya juga terdapat berbagai hal
yang bersifat khusus dan terperinci, yang tidak terdapat dalam al Quran. Oleh
sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan
umum, yang sementara dan abadi, serta antara yang partikular dan yang
universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing.Dan dengan memperhatikan
konteks, kondisi lingkungan serta asbabunnuzul dan asbabul wurud, pasti akan
lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus.
Perkembangan pemikiran terhadap hadits
tidak sesemarak yang terjadi dalam pemikiran terhadap al Quran. Namun,
persoalan yang mengemukakan dari sisi eksternal berangkat dari penyorotan terhadap
figur Muhammad, sebagai figur sentral. Sebagai Nabi akhiruzzaman, otomatis
ajaran-ajaran beliau berlaku bagi umat islam dipelbagai tempat dan masa sampai
akhiruzzaman.Sementara hadits itu sendiri turun dalam kitaran tempat yang
dijelajahi Rasulullah dan dalam sosio-kul-tural masa Rasulullah. Disamping itu
tidak semua Sunnah Nabi secara eksplisit memiliki asbabul waurud yang
menjadikan ketidak jelasan status hadits apakah bersifat umum ataukah khusus.
Dengan melihat kondisi yang melatar belakangi munculnya hadits, sebuah hadits
terkadang dipahami secara tekstual dan terkadang secara kontekstual.
Berpijak pada pentingnya memahami Hadits
Nabi, marilah kita simak makalah tentang metode pemahaman hadits berikut ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Sejarah dan Klasifikasi Pemahaman Hadits Nabi
B.
KetentuanDalam Memahami HaditsNabi
C.
Metode Kontemporer Pemahaman Hadits Nabi
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Klasifikasi Pemahaman Hadits Nabi
Pemahaman hadits [1]merupakan bagian dari
kritik matan, dan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadits. Kritik
hadits[2]atau naqd al-hadits atau penelitian hadits Nabi terdiri dari kritik
sanad atau naqd al -khoriji atau kritik ekstern dan kritik matan atau kritik
intern atau naqd al-dakhili. Kritik hadits sebenarnya telah terjadi sejak masa
nabi. Kritik sebagai upaya membedakan informasi yang benar dan yang salah pada
masa nabi lahir dalam bentuk konfirmasi sahabat kepada nabi atau kepada sahabat
lainnya.
Dikalangan sahabat sendiri telah muncul
beberapa sahabat yang sangat kritis dalam menerim hadits diantaranya Abu Bakar
al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Tholib, Aisyah bbinti Abi Bakar
al-Shidiq, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah bin Umar, Zainab istri
Ibnu Mas’ud dan lain-lain.[3] Namun seiring dengan perjalanan waktu, dengan
wafatnya Nabi, secara otomatis segala persoalan harus mereka tangani sendiri
dan kritik hadits pun mulai dilakukan secara intensif ketika umat islam
bergesekan dengan problem politik.
Kondisi politik yang memanas pada masa-masa
akhir khulafa al-Rosyidin menyebabakan terjadinya manipulasi berita yang
disandarkan kepada Nabi untuk kepentinagan Nabi dan golongan. Oleh karena itu
untuk menjaga kemuurnian dan memelihara kebenaran hadits maka muncul sejumlah
pakar yang dengan gigih membendung segala upaya pemalsuan dan penyebarluasan
informasi yang disandarkan kepada Nabi.
Seiring dengan semakin luasnya daerah islam
dan tersebarnya sahabat Nabi keberbagai kota, kemudian diikuti oleh para
Tabi’in maka penyebar haditspun semakin luas.Sehingga sejak abad ke-2 Hijriyah
hingga beberapa abad setelahnya, para ulama semakin giat dalam upaya mengadakan
penyeleksian terhadap hadits hingga melahirkan sejumlah karya dalam bentuk
teori dan metodologi ilmu hadits.
Selanjutnya, dalam memahami hadits Nabi
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni: (1) kelompok yang lebih mementingkan
makna lahiriyah teks hadits disebut dengan ahlu al hadits, tekstualis, (2)
kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada
dibelakang teks disebut ahl al-ra’yi, kontekstualis.
Ahl alhadits telah muncul sejak generasi
sahabat[4], dengan beragai soal kehidupan yang begitu kompleks. Kelompok ini
berpegang kepada arti lahiriah nash, karena dalam pandangan mereka, kebenaran
al Quranbersifat mutlak, sedangkan rasio adalah nisbi. Ahl al-haditsjuga
mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada disekeliling teks. Dalam kultur
yang relatif dekat dengan Nabi, dampak yang ditimbulkan belum begitu kelihatan
karena perubahan yang signifikan dalam budaya dan gesekan antara kebudayaan
lokal dan luar belun terasa. Namun ketika hadits telah melintasi banyak
generasi dan lintas kultural serta berhadapan dengan berbagai kemajuan ilmu
pengetahuan mengimbas kepada semakin kompleksnya perkembanagna hidup.
Sedangkan Ahl al-ra’yi, kelompok ini
memahami persoalan secara rasioal dengan tetap berpegang pada nash alQuran dan
hadits. Oleh karenanya, tidak jarang mereka mengorbankan hadits ahad yang
bertentangan dengan al Quran.[5] Argumentasi kelompok yang menjustifikasi
pendekatan rasional ini adalahhadits masyhur yang diriwayatkan dari Mu’adz bin
Jabar ketika dia diutus Nabi ke Yaman.
Perseteruan antara ahl al-haditsdan ahl
a-ra’yi menjadi salah satu fenomena dikotomi antara ‘aql dan naql, antara
falsafat dan agama, atau antara taklid dan kreatifitas. Perselisihan antara ahl
al-hadits dan ahl a-ra’yi ini diwarnai dengan saling membenci dan saling
mencemooh anatara kelompok pertama dan kelompok kedua.[6]
Dalam wacana fiqih, istilah ahl al-hadits
merujuk pada madzhab Hanbali, yang berpandangan bahwa segala hal harus dirujuk
pada teks yang ada, sedangkan kelompok ahl a-ra’yi mengacu pada madzhab Hanafi.
Dalam perkembangan lebih lanjut ahl al-ra’yi digolongkan sebagai kelompok yang
memiliki semangat pembaruan. Kelompok ini mengakui eksistensi akal pikiran
sebagai perangkat yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan hukum dam
etika. Sekalipun ahl al-Ra’yi mengakui eksistensi akal, namun pemanfaatan akal
tidaklah semaksimal para filosof.Oleh
karena rasionalitas ahl al-ra’yi dalam penggunaan akal hanya sampai pada tahap
justifikasi saja. Sekalipun demikian kelompok ini dibanding ahl al-hadits lebih
memiliki semangat pembaruan.
B.
Ketentuan Dalam Memahami HaditsNabi
Dalam memahami hadits ada beberapa ketentuan
yang harus dipenuhi diantaranya yaitu:
1.
Memahami As Hadits Sesuai Petunjuk Al Quran
Untuk dapat memhami as Hadits dengan
pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang
buruk, maka kita haruslah memahaminya sesuai dengan petunjuk al Quran, yaitu,
dalam kerangka bimbingan llahi yang pasti benarnya dan tak diragukan
keadilannya. Sesuai dengan surat Al-an’am ayat 115:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Yang artinya: ”Telah sempurnalah kalimat
Tuhanmu (Al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
Jelaslah bahwa al Quranadalah ruh dari
eksistensi islam, dan merupakan asa bangunanaya, sedangkan hadits adalah
penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang
bersifat teoritis ataupun penerapannya secara ptaktis. Itulah tugas Rasulullah
SAW. ; “menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan pada mereka”.
Oleh sebab itu tidaklah mungkin suatu yang
merupakan pemberi penjelasan bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan itu
sendiri. Maka penjelasan yang bersumber dari Nabi SAW selalu dan senantiasa
berkisar diseputar al Qurandan tidak mungkin akan melanggarnya.[7]
2.
Menghimpun Hadits-Hadits Yang Terjalin Dalam Tema Yang Sama
Untuk berhasil memahami hadits secara benar
kita harus menghimpun hadits shohih yang berkaitan dengan satu tema tertentu.
Kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan
yang mutlak dengan yang muqoyyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khosh.
Dengan cara itu dapatlah dimengetri maksudnya dengan lebih jelas dan tidak
dipertentangkan antara hadits satu dan lainnya.[8]
3.
Penggabungan Atau Pentarjihan Antara Hadits-Hadits Yang Bertentangan
Pada dasarnya nash-nashsyari’ah tidak
mungkin saling bertentangan. Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal
itu hanya tampak dalam luarnya saja, bukan pada kenyataannya yang hakiki. Dan
atas dasar itu kita wajib menghilangkannya dengan jalan seperti berikut:
a.
Penggabungan didahulukan sebagai pentarjihan.
Memahami hadits dengan baik termasuk hal
yang sangat penting,yaitu dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadits
shohih yang redaksinya tampak solah-olah bertentangan, demikian pula makna
kandungannya yang tampak berbeda. Cara yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan
semua hadits dan kemudian dinilai secara proporsional sehingga dapat
dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling
bertentangan. [9]
b.
Naskh dalam hadits
Diantara persoalan kandungan hadits yang
dianggap saling bertentangan adalah persoalan naskh (penghapusan) atau adanya
hadits yang nasikh (yang menghapus suatu ketentuan) dan yang mansukh (yang
terhapus berklakunya). Persoalan naskh ini, ada hubungannya dengan ilmu-ilmu al
Quransebagaimana ada hubungannya juga dengan ilmu hadits, namun dakwaan tentang
adanya naskh dalam hadits tidak sebesar yang didakwahkan didalam alquran.
Apabila diteliti lebih jauh hadits-hadits yang diasumsikan sebagai mansukh
tidaklah demikian. Hal ini mengingat bahwa diantara hadits-hadits ada yang
dimaksudkan sebagai ‘azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun secara berat),
dan ada pula yang dimaksudkan sebagai rukhsoh (peluang untuk memilih yang lebih
ringan pada suatu ketentuan). Dan karena itu, kedua-duanya mengandung kadar
ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing.[10]
4.
Memahami Hadits Sesuai Dengan Latar Belakang, Sitiuasi Dan Kondisi Serta
Tujuannya
Untuk dapat memahami hadits nabi dapat
dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya
suatu hadits, atau terkait dengan suatu ‘illah tertentu yang dinyatakan dalam
hadits tersebut, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.[11]
Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemilihan antara apa
yang bersifat khusus dan yang umum, yamg sementara dan abadi, serta antara yang
partikular dan yang universal yang masing-masing mempunyai hukum
tersendiri.[12]
Sesuai dengan kaidah “suatu hukum berjalan
dengan illahnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya”, sehingga apabila
kondisi telah berubah dan tidak ada lagi ‘illah, maka hukum yang berkenaan
dengan suatu naskh akan gugur dengan sendirinya. Begitu pula hadits yang
berlandaskan suatu kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan melalui
perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya
dan bukan pengertian harfiahnya.[13]
5.
Membedakan Antara Sarana Yang Berubah-Ubah Dan Tujuan Yang Tetap
Diantara penyebab kekacuan dan kekeliruan
dalam memahami haditsialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan
atau sasaran yang hendak dicapai oleh as sunnah denga pra-sarana temporer atau
lokal yang kadang kala menunjang pencapaian sasaran itu dituju. Mereka
memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olah hal ini merupakan hal
yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang berusaha benar-benar memahami
haditsserta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang
penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yamg tetap dan
abadi. Sedangkan yang berupa prasarana adakalanya berubah dengan adanya
perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.
Setiap sarana dan prasarana mungkin saja
berubah dari suatu masa kemasa lainnya,
dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya, bahkan semua itu pasti
mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadits menyangkut sarana
atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan suatu fakta, namun
sama sekali tidak dimaksudkan mengikat kita dengannya, atau membekukan diri
dengannya.
Bahkan sekiranya al Quransendiri menegaskan
tentang suatu sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa
tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja dan
tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan
berubahnya waktu.[14]
6.
Membedakan Antara Ungkapan Haqiqat Dan Majaz
Teks-teks hadits banyak sekkali yang
menggunakan majaz (kiasan atau metafora), sebab Rasul adalah orang arab yang
menuasai balaghoh (retorika). Rasul menggunakan majaz untuk mengungkapkan
maksud beliau dengan sangat mengesankan. Adapun yang termasukmajaz adalah majaz
lughowi, ‘aqli, isti’aroh, kinayah dan berbagai ungkapanlainnya yang tidak menunujukkan
makna sebenarnya secara langsung tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai
indikasi yang menyertainya baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Menurut Yusuf Al Qaradawi, pemahaman
berdasarkan majaz terkadang merupakan suatu keharusan, karena jika tidak, orang
akan tergelincir dalam kekeliruan. Untuk hadits yang tidak bisa dipahami secara
tekstual, maka bisa dilakukan ta’wil terhadapnya. Upaya ta’wil harus didukung
oleh suatu alasan kuat, jika tidak maka pena’wilan tersebut harus ditolak, begitu
juga pena’wilan yang dipaksakan. Sedangkan pemahaman hadits yang hanya sesuai
dengan susunan lahiriahnya atau tekstualnya sajapunharus ditolak, jika
bertentangan denhgan konklusi akal yang jelas, atau hukum syari’ah yang benar,
atau pengetahuan yang pasti, atau kenyataan yang meyakinkan.[15]
7.
Membedakan Antara Alam Gaib Dengan Alam Nyata
Diantara kandungan hadits, ada beberapa hal
yang berkaitan dengan alam gaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk
yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat yang diciptakan
ole allah SWT untuk melakukan tugas tertentu. Seperti dalam surat al Mudatsir
ayat 31:
وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلا هُوَ
Yang artinya: “Dan tidak ada yang
mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri”.
Hal tersebut menjadi bahan pembicaraan al
Quran. Namunhadits yang mulia berbicara tentangnya (alam gaib) secara lebih
luas, dengan menguraikan secara terinciapa yang disebutkan al Qurandalam garis
besarnya saja.[16]Seorang muslim wajib menerima hadist-hadits shohih yang
mengenai alam gaib ini dan tidak dibenarkan menolaknya semata-mata karena
menyimpang dari apa yang biasa dialami, atau tidak sejalan dengan pengetahuan.
Selama hal itu masih dalam batas kemungkinana menurut akal, walaupun dianggap
mustahil menurut kebiasaan. Sikap yang benar yang diharuskan oleh logika
keimanan dan tidak ditolak oleh logika akal adalah mengatakan; “kami beriman
dan percaya”, setiap kali dihadapkan hal-hal gaib yang ditetapkan dalam agama.
[17]
8.
Memastikan Makna Dan Konotasi Kata-Kata Dalam Hadits
Dalam memahami hadits dengan sebaik-baiknya
penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan
dalam susunan kalimat hadits. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya
berubah dari suatu masa ke masa lainnya. Adakalanya suatu kelompok manusia
menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk pada makna-makna tertentu pula.
Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata
tersebut yang digunakan dalam hadits (atau juga dalam al Quran) sesuai dengan
istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan dikalangan mereka saja).
Disini akan timbul kerancuan dan kekeliruan.
C.
Metode Kontemporer Pemahaman Hadits Nabi
a.
Metode pemahaman hadits menurut Muhammad al-ghazali
Menurut Muhammad al-Ghazali terdapat dua
kriteria yang berkaitan dengan matan, yaitu: (1) Matan hadits tidak syadz (2)
matan hadits tidak mengandung ‘illah qadihah. [18]menurut beliau, untuk
mempraktikkan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu kerjasama atau saling sapa
antara muhadits dengan berbagai ahli di bidangnya, termasuk fuqaha’, mufassir,
ahli ushul fiqh, ahli kalam dan lain-lain, mengingat materi hadits ada yang
berkenaan dengan aqidah, ibadah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan dari
beragai ahli.[19]
Muhammad al-ghazali tidak memberikan
penjelasan langkah-langkah konkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami
hadis nabi. Namun dari berbagai pernyataannya dala buku Al Hadits Al Nabawiyyah
Baina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl-Hadits, dapat ditarik kesimpulan tentang tolok ukur
yang diapakai Muhammad al-Ghazali dalam kritik matan (otentisitas matan dan
pemahamnan matan).
Secara garis besar metode yang digunakan
oleh Muhammad al-Ghazali ada 4 macam, yaitu:
1.
Pengujian dengan alQuran
2.
Pengujian dengan hadits
3.
Pengujian dengan fakta historis
4.
Pengujian dengan kebenaran ilmiah
Ke-empat pengujian tersebut tidak serta
merta dapat diterapkan secara penuh untuk semua matan hadits sehingga dapat
dikategorisasikan menjadi lima, yakni:
(1)
Pengujian dengan alQuran, hadits, fakta historis, dan kebenaran ilmiah.
(2)
Pengujian dengan alQuran, fakta historis, dan kebenaran ilmiah.
(3)
Pengujian dengan hadits dan kebenaran ilmiah.
(4)
Pengujian dengan faktahistoris dan kebenaran ilmiah.
(5)
Pengujian dengan kebenaran ilmiah[20]
b.
Metode pemahaman hadits menurut yusuf al qaradhawi
Menurut Yusuf al Qaradhawi, hadits nabi
mempunyai tiga karaktristik, yaitu komprehensif (manhaj syumuli)[21], seimbang
(manhaj mutawazin)[22] dan memudahkan (manhaj muyassar).[23] Ketiga
karakteristik tersebut akan mendukung pemahaman yang utuh terhadap suatuhadits.
Atas dasar tersebut, maka ada tiga hal yang
harus dihindari dalam berinteraksi dengan hadits yaitu (1) penyimpangan kaum
ekstrem yang berlebihan dalam urusan agama, (2) manipulasi orang-orang sesat,
(3) penafsiran orang-orang bodoh. Oleh sebab itu, pemahamna yang tepat terhadap
hadits adalah mengambil sikap moderat atauwasthiyyah yaitu tidak seperti jalan kelompok ekstrem,
kelompok sesat, dan kelompok bodoh.
Maka dari iu, dibutuhkan tiga prinsip dasar
yang harus ditempuh ketika berinteraksi dengan hadits untuk merealisasikan
metode tengah-tengah, yaitu:
1.
Meneliti keshohihan hadis sesuai acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh
pakar hadis yang dapat dipercaya, baik sanad maupun matannya.
2.
Memahami hadits sesuai dengan pengertian bahasa dan asbab al wurud teks
hadits untuk menemukan makna suatu hadits yang sesungguhnya.
3.
Memastikan bahwa hadits yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash
lain yang lebih kuat. [24]
Untuk melaksanakan prinip-prinsip dasar
diatas, maka Yusuf al qaradhawi mengemukakan delapan kriteria dalam memahami
hadits:
a)
Memahami hadits sesaui denagn petunjuk alQuran
b)
Menghimpun hadits-hadits yang setema
c)
Kompromi atau tarjih terhadap hadts-hadits yang kontradiktif
d)
Memahami hadits sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisiserta
tujuannya
e)
Mebedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
f)
Membedakan antara ungkapan haqiqah dan majaz
g)
Membedakan antar yang gaib dan yang nyata
h)
Memastikan makna kata-kata dalam hadits.
IV. KESIMPULAN
Sejarah pemahaman hadis telah dimulai sejak
zaman Nabi muhammad SAW., bahkan dikalangan sahabat sendiri telah muncul
beberapa sahabat yang sangat kritis dalam menerimahadits diantaranya Abu Bakar
al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Tholib dan lain-lain. Namun
seiring perjalanan waktu, dengan wafatnya Nabi, secara otomatis segala
persoalan harus mereka tangani sendiri dan kritik hadits pun mulai dilakukan
secara intensif ketika umat islam bergesekan dengan problem politik.
Dalam memahami hadits Nabi dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yakni: (1 ) kelompok yang lebih mementingkan makna
lahiriyah teks hadits disebut dengan ahlu al hadits, tekstualis, (2) kelompok
yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada dibelakang teks
disebut ahl al-ra’yi, kontekstualis.
Muhammad al-Ghazali dalam memahami hadits
menekankan akan perlunya kerjasama atau saling sapa antara muhadits dengan
berbagai ahli di bidanganyadikarenakan materi hadits yang juga berkenaan bidang
lainnya. Selain itu, beliau juga menawarkan beberapa metode pemahan hadits yang
dapat diterapkan sesuai kategori masing-masing.
Berdasarkan hadits nabi yang memiliki tiga
karakteristik untuk menunjang pemahamn hadits secara utuh, Yusuf al qaradhawi
juga memberikan konsep tentang metode pemahaman hadits guna membangun sikap
wasthiyyah agar terhindar dari kelompok ekstrem, kelompok sesat, dan kelompok
bodoh. Diantaranya yaitu, Memahami hadits sesuai dengan petunjuk alQuran,
menghimpun hadits-hadits yang setema, kompromi atau tarjih terhadap
hadts-hadits yang kontrdiktif dan lain sebagainya.
V. PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, yang mana
tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyajian.
Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak. Untuk itu kritik dan
saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan evaluasi dari
apa yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Al Karim
‘Abd al-Raziq,Musthafa,Tahmid Li-Tarikh
Al-Islamiyyah Kairo: Lajnah Wa Al-Tarjamah Wa Nashr, 1959
Al Qaradhawi,Yusuf,Kaifa Nata’ammalu Ma’a
Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Ma’alim Wa Dhawabith, USA: Al-Ma’had Al-‘Alami Li
Al-Fikr Al-Islami, 1990
Al-Beqir, Muhammad, Bagaimana Memahami
Hadist Nabi Saw Terjemahan Kaifa Nata’ammalu Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah,
Bandung: Penerbit Karisma, 1993
al-Ghazali,Muhammad,Al Sunnah Al Nabawiyyah
Baina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl-Hadits, Kairo: Dar Al-Syuruq, 1989
Azami, M.M, Studies In Hadith Metodologi
And Literatur, USA: American Trust Publication, 1977
Makluf,
Louis, Al-Munjid Fi Al—Lughoh Al-A’lam Beirut: Dar Almasyriq, 1986
Poerwodarinto, WJS., Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Suryadi , Metode Kontemporer Memahami
Hadist Nabi, cet I, Yogyakarta: Teras, 2008
[1] Dalam bahasa arab sering disebut dengan
fahm alhadist atau fiqh alhadist. Menurut kamus bahasa arab kata fahm sinonim
dengan kata fiqh, yang artinya memahami, mengerti atau mengetahui (‘alima,
‘arafa, dan adroka). Lih. Louis makluf, Al-Munjid Fi Al—Lughoh Al-A’lam
(Beirut: dar almasyriq, 1986), hlm 591 dan 598.
[2] Dalam bahasa indonesia kata kritik
mengandung arti pemisahan sesuatu yang bernilai baik dengan sesuatu yang buruk
lih. WJS. Poerwodarinto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta, balai pustaka,
1989), hlm. 534.
[3] M. M. AZami, Studies In Hadith
Metodologi And Literatur, (USA: American Trust Publication, 1977), hlm. 48.
[4] Diantara sahabat yang termasuk kelompok
tekstualis adalah Bilal, Abd al-Rahman bun Auf dan al-Zubair.
[5] Musthafa ‘Abd al-Raziq, Tahmid
Li-Tarikh Al-Islamiyyah (kairo: lajanah wa al-tarjamah wa Nashr, 1959), hlm.
206.
[6] DR. Suryadi, M. Ag, Metode Kontemporer
Memahami Hadist Nabi, (yogyakarta: teras, 2008), cet I, hlm. 67-77.
[7] Muhammad Al-Beqir, Bagaimana Memahami
Hadist Nabi Saw (Terjemahan Kaifa Nata’ammalu Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah),
(Bandung: penerbit karisma, 1993), cet I,hlm. 92-93.
[8] Ibid, hlm. 106
[9]Ibid, hlm 118
[10]Ibid, hlm. 128-129
[11] Yusuf Al Qaradhawi, Kaifa Nata’ammalu
Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Ma’alim Wa Dhawabith,(USA: Al-Ma’had Al-‘Alami Li
Al-Fikr Al-Islami, 1990), hlm. 125.
[12]Ibid, hlm. 132.
[13]Ibid.
[14] Muhammad Al-Beqir, Op. Cit., hlm
148-149.
[15] DR. Suryadi, M. Ag, Op. Cit.,hlm.
175-176.
[16]Ibid, hlm. 188-189.
[17]Ibid, hlm. 184-185.
[18] Muhammad al-Ghazali, Al Sunnah Al
Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl-Hadits, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1989), cet.
I, hlm. 18-19.
[19]Ibid., hlm. 19-21.
[20] DR. Suryadi, M.A, Op. Cit., hlm.
78-87.
[21] Manhaj sunnah mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia dandapat diterapkan di semua tempat dan zaman. Lih. Yusuuf
l-qaradhawi, Op Cit, hlm. 23-24
[22]Manhaj sunnah mempertimangakn
keseimbangan antara tubuh dan jiwa, akal dan kalbu, dunia dan akhirat, ideal
dan realitas, teori dan praktek, alam gaib dan kasat mata, kebebasan dan
tanggungjawab, kebutuhan individu dan masyarakat, ittiba’ dan ibtida’, dan
seterusnya. Ibid; hlm. 24.
[23] Sunnah bersifat memudahkan, karena
manhaj terlihat pada kandungannya yang tidak memberikan beban yang tidak
semestinya. Ibid; hlm. 25.
[24]Op.Cit.., hlm. 33-34.
10 tweet yang mengguncang dunia
Fun Running #HitsWithoutViolence 2013
Panggil saja Day at 06.37
Berbagi
1 komentar:
Anonim15 Juni 2013 18.15
menyukai....
Balas
Muat yang lain...
Links to this post
Buat sebuah Link
‹
›
Beranda
Lihat versi web
Diberdayakan oleh Blogger.
About Me
Foto Saya
Panggil saja Day
Lihat profil lengkapku
0 Response to "MAKALAH KAIDAH MEMAHAMI HADIST"
Post a Comment