BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat berkomunikasi, saling menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan.
Pemikiran seseorang tentunya akan
lebih mendapat pengakuan ketika sudah “dituliskan” sehingga orang lain yang
membaca akan mengetahui apa yang ingin disampaikan seorang penulis. Pada
dasarnya seluruh kegiatan manusia akan sangat berkaitan erat dengan bahasa.
Entah sekedar bercakap-cakap dengan teman, atau dalam kegiatan formal seperti
sekolah, kuliah bahkan dalam pekerjaan. Filsafat juga tidak dapat lepas dari
bahasa. Banyak filsuf yang justru mengawali pemikirannya dari problem bahasa.
Tentunya bahasa disini bukan berarti sekedar mempelajari tata gramatikal bahasa
ataupun bahasa asing, melainkan bagaimana pengertian seseorang dapat
terpengaruh ‘hanya’ dari penggunaan kata-kata atau pemikiran. Sangat penting
untuk dapat tetap berpikir kritis dalam mengerti ucapan seseorang maupun teks.
Teori-teori yang berkembang dalam
filsafat bahasa inilah yang kemudian menjadi alat bagi setiap orang untuk dapat
lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik yang terucapkan maupun dalam
bentuk teks. Mungkin akan terkesan “ah, bahasa kan sama saja dengan
perbincangan sehari-hari, apa susahnya sih? Toh, ucapan-ucapan itu bisa saja
mudah dimengerti.” Memang kesannya bahasa tidak ada kaitannya dengan filsafat.
Tapi Bahasa ternyata tidak hanya mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi
dengan orang lain, tetapi juga dapat menjadi hal yang kompleks. Sebuah
perjanjian antar negara juga menggunakan bahasa yang disepakati pihak-pihak
yang terkait agar tercapai kesepakatan. Tanda-tanda yang hadir dalam kehidupan
kita sehari-hari juga bagian dari bahasa. Contoh, rambu-rambu lalu lintas tentu
akan sangat tidak efisien jika dituliskan dalam bentuk huruf.
1.2. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian bahasa?
2. Apa saja
teori-teori sejarah lahirnya bahasa?
3. Bagaimana
cara dan faktor-faktor tumbuh kembangnya bahasa?
4. Bagaimana
perbedaan bahasa dan dialek?
5. Bagaimana
faktor-faktor persebaran dan perbedaan bahasa?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Bahasa
Sejak dulu, belum dijumpai kata sepakat
mengenai definisi bahasa. Hal ini selalu menjadi perdebatan antar linguis dan
ilmuwan umum seperti psikologi, logika, filsafat, biologi dan lain-lain. Karena
setiap ilmuwan menafsirkan bahasa dari perspektif mereka sendiri. Menafsirkan
bahasa menurut fak mereka masing-masing. Seperti para linguis yang mengkaji
bahasa dari perspektif filsafat logika. Jika diperhatikan, pengkajian ini
menuai banyak kontroversi dilarenakan perbedaan pendapat individu. Begitu pun
dengan tiga hal (definisi, perkembangan, dan tugas). Tetapi perbedaan yang
paling mencolok adalah dalam segi pendefinisian bahasa.
Para linguis mengemukakan bahwa bahasa bisa
dikaji dari segi sosialnya, kebudayaan, dan darimana bahasa tersebut diperoleh,
tidak ada sifat biologis yang mengikuti dalam kesatuannya. Disusun atas rumus
fonologi bahasa, ia diperoleh melalui pengujian. Maknanya ditetapkan melalui
pemikiran, dan dengan metode ini para pengikutnya bisa mengerti.
2.2. Perkembangan Bahasa
Para ilmuwan terus
meneliti tentang perkembangan bahasa dari zaman dahulu, ini dikarenakan bahasa
adalah hal penting yang menjadi dasar
komunikasi bagi manusia. Dengan
bahasa juga, pembeda utama yang membedakan manusia dari hewan. Dalam hadits:
“manusia adalah hewan yang berkata-kata”. Meskipun tema tentang perkembangan
bahasa termasuk salah satu masalah manusia yang sangat tua dan selalu
difikirkan, banyak para peneliti yang meneliti hal tersebut. Ada banyak sekali
pandangan mengenainya, dan memungkinkan bagi kita, umumnya untuk mengembalikan
pandangan-pandangan global mengenai beberapa teori yang dikemukakan.
1. Hipotesis Monogenesis (Tauqifi)
Teori ini menyatakan bahwa bahasa berasal
dari tuhan. Dan yang mendukung teori ini adalah ibnu faris dan banyak lagi.
Diantaranya Heraclite, Abu Lawi, Filsuf De Boland. Dalil yang mereka gunakan
bukanlah dalil ‘aqli, melainkan mereka menggunakan dalil naqli. Ini dikarenakan mereka berpegang kepada firman
tuhan: ”أدمَ الأسماءَ كلَّها وعلّم”. Dan mereka pun berpedoman kepada apa yang telah termaktub
dalam kitab taurat dan injil. Bahwa sesungguhnya Allah menciptakan bumi dengan berbagai macam hewan darat dan
udara. Maka Allah menghadirkan seluruh hewan-hewan ini kepada Adam agar ia tau
apa akan didakwahkan kepada mereka. Dan segala sesuatu yang Adam panggil
memiliki nama. Maka Adam memanggil nama segenap hewan-hewan melata, beburungan,
dan seluruh hewan darat. Sementara ilmu lughah (linguistik) hari ini, menolak
teori ini. Maka kemudian wahyu tuhan: ”أدمَ الأسماء كلّها وعلّم” membawa maknanya sendiri. Seperti yang telah diterangkan Ibnu Jinni dan
yang lainnya bahwa Allah memberi kekuasaan kepada manusia untuk menentukan
lafal. Dan dalam taurat tidak ada dalil atas teori ini.
2. Teori Istilah
Teori ini menyatakan bahwa sesungguhnya
bahasa dimulai dari kerendahan diri dan kesepakatan. Yang berada pada teori ini
adalah ibnu Jinni dan banyak lagi, antara lain Democrite, adam Smith, Reid dan
yang lainnya. Ibnu Jinni berkata bahwa ”tidak sedikit ilmuwan yang menyatakan
bahwa bahasa berasal dari kerendahan diri dan istilah, bukan wahyu ataupun tauqif”.
Tetapi teori ini tidak diperkuat dengan dalil, entah itu dalil naqli ataupun
histori. Tetapi sesungguhnya apa yang ia kemukakan bertujuan untuk melawan
wahyu umum yang didalamnya tertera aturan bersosialisasi. Dengan teori ini ia
memberitahukan kepada kita bahwa ia tidak membelenggu ataupun menciptakan
sesuatu melainkan terbentuk dengan sendirinya secara berangsur-angsur dari
kemauannya sendiri. Ini menunjukkan
bahwa sesungguhnya kerendahan diri atas penamaan mendapat kesepakatan dari
banyak pihak. Dan menjadikan teori ini sebagai teori perkembangan bahasa dan
yang menyepakati ini adalah dirinya sendiri seperti teori sebelumnya.
3. Teori Onomatopetik
atau Teori Bow-Wow
Teori
ini menyatakan bahwa sesungguhnya bahasa berasal dari tiruan gejala alam,
seperti suara hewan atau fenomena alam, dan suara ketika bekerja. Ibnu Jinni memperhatikan
bagaimana para pencetus teori ini memecahkan masalah perkembangan bahasa, para
peneliti berkata:” kembali kepada pembentukan bahasa, teori ini berasal dari
suara-suara yang terdengar, seperti debur ombak, gemuruh petir, gemericik air,
suara keledai, aokan gagak, ringkik kuda, suara kijang ketika minum, dan lain
sebagainya. Kemudian lahirlah bahasa atas dasar itu semua. Dan aku memiliki
pendapat yang baik dan madzhab yang menyetujui. Telah jelas bahwa Ibnu Jinni
takjub atas kehadiran teori ini. Ia membuat satu bab khusus yang diberi nama “bab
fii imsaasi al-alfad
asybaahu al-ma’na”
ia berkata: “walaupun belum memperhatikan tentang itu, entah dengan penamaan
sesuatu berdasar suaranya, seperti lalat dengan suaranya, itik dengan suaranya,
dan lain sebagainya. Seperti juga حاحيت, عاعيت, هاهيت jika kamu menyebut حاء, عاء, هاء. Dan juga basmalat, hailalat, dan
hauqolat. Seperti itulah kesamaannya. Meskipun kembali dari etimologi
sampai suara.” Dan kejadian yang berdasar atas teori ini tidak dapat di
tentang, seperti seekor biring yang dinamai Cuckoo di Inggris karena ia
mengeluarkan suara yang kini menjadi namanya.
4. Teori Nativistik atau
Teori Ding Dong
Teori ini tidak jauh berbeda dari teori Bow-waw, ia
lebih menekankan pada bunyi kalimat yang menunjukkan maknanya. Ibnu Jinni yang mengetahui teori ini sangat takjub.
Teori ini dikelompokkan menjadi 1. “bab yang di dalamnya membahas tentang
mendekati lafal untuk mendekati makna” dan mengumumkan atas dua isim “bab yang
membahas tentang menyentuh lafal untuk memuliakan makna”. Dikatakan dalam bab
2: ketahuilah bahwa sesungguhnya pembahasan ini sangat halus dan peka”.
Diantara tokoh yang terkenal adalah Al-Khalil dan Syibawaih. Dia menemui jamaah
dan disambut dengan baik, mereka mengakui kebenaran teori ini. Al-Khalil
berkata: mereka seperti membayangkan suara belalang yang tinggi dan panjang.
Maka mereka menggunakan: صر
dan mereka membayangkan suara … yang terpatah-patah, maka mereka menggunakan: صرصر. Syibawaih juga mengatakan bahwa masdar-masdar yang mengikuti
wazan fa’laan sesungguhnya ia terbentuk atas kekacauan dan gerakan,
seperti contoh نقزان , غليان, غثبان….
Dan aku menemukan banyak hal dari kabar ini …. Ini dikarenakan kamu menemukan
masdar-masdar ruba’i mudho’af yang memiliki makna pengulangan. Seperti contoh: زعزعة, قلقلة, صلصلة, قعقعة, عصعصة, جرجرة, قرقرة. Dan dari sini mereka mengatakan: dan sebagainya. Sedangkan
huruf syin (ش)
memiliki sifat yang menyerupai …… dangan dal (د) yang sifatnya lebih kuat dari syin, meskipun dia diidghomkan.
Karena dal lebih kuat sifatnya dibanding syin yang menunjukkan atas makna yang
diinginkan. Syaikh Subhi as-Salih yang takjub mengetahui adanya teori ini
membuat sebuah bab dalam kitabnya “dirosah fiqhul lughah” yang diberi judul “munasabah
huruf al-arabiyah li ma’aniha” ia
menegaskan bahwa antara lafal dan makna
memiliki hubungan yang alami sebagaimana telah di jelaskan Ibnu Jinni dalam “tu’addu
fathan mubinan fii fiqh al-lughah” (kemajuan dalam linguistik umum).[1]
2.3. Faktor Tumbuh Kembang Bahasa
1. Sosial Manusia
Sosial
manusia tentu mempengaruhi perkembangan bahasa. Manusia berinteraksi satu sama
lain pastinya banyak mengeluarkan kosa kata atau ujaran-ujaran baru untuk
mempermudah berinteraksi satu sama lain.
2. Kebudayaan Manusia
Pengaruh
budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau
istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah
ada. Hal tersebut dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau
kurang ilmiah. Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata
wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk
menggantikan kata piknik; dan kata suku cadang untuk menggantikan kata
onderdil. Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap kurang rasional.
Karena itu perlu diganti yang bersifat rasional. Kata-kata kuli dan buruh
diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah tangga. Dan kata
pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau
feodal.
Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga
pemasyarakatan, kenaikan harga diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan
menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tunasusila adalah karena kata-kata tersebut
dianggap halus ; kurang sopan menurut pandangan norma sosial. Proses
penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung sesuai
dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.
3. Otoritas Penguasa (Politik)
Bahasa
dalam setiap rezim kekuasaan memiliki warna yang berbeda. Sejarah ejaan bahasa
indonesia menunjukkan bahwa setiap rezim kekuasaan memiliki kepentingan
terhadap keberperanan bahasa selaras dengan kecenderungan kekuasaan. Pada masa
Orde Baru misalnya, intervensi yang nyata dari rezim ini adalah pemiskinan
makna dalam bahasa-bahasa yang sentralistik. Makna
bahasa diikat dalam suatu kepentingan politik penguasa dan diberikan secara
mentah-mentah kepada masyarakat untuk dipakainya. Otoritas makna dan dominasi
publik membuat bahasa-bahasa politik menjadi bermakna tunggal. Ketika banyak
kerusuhan dan penentangan terhadap kesewenang-wenangan, penguasa membuat
kosakata ‘provokator’
dan “aktor intelektual” yang memiliki makna secara teknis sama dengan pelaku
makar. Orang-orang yang dituduh sebagai provokator diposisikan sebagai musuh
negara dan harus dimusuhi masyarakat banyak. Paling tidak, rezim Orde Baru
telah membentuk warna bepikir yang seragam dalam bentuk dan polanya karena
senantiasa dikontrol oleh kekuasaan.
Lain halnya pada era reformasi yaitu pemerintahan BJ. Habibie. BJ. Habibie
membuka babak baru komunikasi yang terbuka. BJ. Habibie terbukti telah
mengembangkan pola baru dalam komunikasi birokrasi yang cerdas, kritis, terbuka
dan intelek. Habibie bukan hanya sanggup mengkritik dengan kecerdasannya, namun
juga telah sangat terbuka dan siap dikritik dalam banyak sisi kehidupan
bernegara. Dalam banyak kesempatan komunikasi, BJ. Habibie telah menghidupkan
budaya bahasa yang tidak berambigu dan memungkinkan orang lain berpikir dalam
kerangka bahasa yang dipakainya. Sikap terbuka ini memunculkan konsekuensi
logis pada penggunaan bahasa komunikasi yang berlainan dari pemerintahan
sebelumnya. Munculnya sikap kritis dan penggunaan bahasa yang transfaran.
Andaikata di masa pemerintahan Orde Baru, penggunaan bahasa birokrasi berbau
eufimisme dan pleonasme, maka di masa pemerintahan BJ. Habibie
bahasa yang dipergunakan sangat terbuka dan tidak ambigu. Oleh karena itu
pemikiran yang kritis dengan terbuka pula bisa disampaikan. Istilah-istilah
“kesalahan prosedur” sudah berganti menjadi “korupsi”.[2]
2.4. Pengertian
Dialek
Dialek atau dalam bahasa Arab
disebut dengan lahjah adalah kumpulan
dari sifat-sifat bahasa (variasi bahasa) yang berhubungan dengan suatu
lingkungan atau tempat khusus dan dipakai oleh setiap penduduk lingkungan
tersebut. Dialek merupakan variasi dari bahasa dan bukan merupakan ragam dari
suatu bahasa. Karena dialek termasuk bagian khusus dari suatu bahasa, oleh
karena itu dialek masih bagian dari cakupan bahasa dan bukan bahasa tersendiri.
Bahasa Arab adalah salah satu dari
rumpun bahasa Samiah yang mempunyai berbagai macam dialek yang menyebabkan
perbedaan dalam membaca dan berbicara sehingga tidak heran jika dikatakan
Al-Qur‟an itu turun dengan tujuh huruf (نزل القرأن على سبعة أحرف).
Adapun menurut Kamus Besar Bahasa indonesia
dialek merupakan variasi bahasa yang berbeda- beda menurut pemakainya.
(misalnya bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau
kurun waktu tertentu. Adapun hubungan antara bahasa dan dialek merupakan
hubungan yang khusus dengan umum.
Dalam artian lingkungan dialek bagian dari lingkungan yang lebih luas atau
lebih menyeluruh cakupannya. Dalam lingkungan yang lebih luas tersebut terdapat
gabungan dari beberapa dialek. Setiap dialek memiliki ciri khusus dan sebagai
penyokong bahasa.[3]
2.5. Perbedaan Bahasa
dan Dialek
Memang agak sedikit
membingungkan bila kita bertanya dimana letak perbedaan dan bagaimana
membedakan antara bahasa dan dialek. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa
dialek merupakan bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal di suatu daerah
tertentu. Dengan kata lain bahwa dialek tidak lain dari pada suatu variasi
bahasa yang berbeda secara konsisten dari variasi-variasi lain dari bahasa yang
sama yang digunakan di kawasan-kawasan geografis yang berlainan dan oleh
kelompok – kelompok social yang juga berlainan. Untuk menentukan apakah itu
bahasa atau dialek, maka cara yang bisa digunakan adalah dilihat dari
sejarahnya. Sedikit banyak akan bergantung pada hubungan sejarah keduanya.
Kemudian ciri lain yaitu homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsure – unsure
bahasa tertentu. Misalnya para ahli dialektologi percaya bahwa apakah katakana
saja X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, atau dua subdialek, ataukah hanya
sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya.
Jika persamaannya hanya 20% atau kurang maka keduanya disebut bahasa. Tetapi
kalau mencapai 40-60% keduanya disebut dialek, dan kalau bisa mencapai 90% maka
jelas keduanya hanya merupakan dua variasi saja dari sebuah bahasa. Contohnya
etnis jawa mengakui bahasanya adalah bahasa Jawa, terdiri dari beberapa dialek,
antara lain dialek Bagelen (Jawa Tengah bagian selatan), dialek Solo-Yogya,
dialek Jawa Timur (Surabaya, Malang, Mojokerto, Pasuruan), dialek Osing
(Banyuwangi) . Contoh lain misalnya suku sasak yang mendiami pulau Lombok akan
mengakui bahasanya adalah bahasa sasak (base sasak), terdiri dari dialek
ngeno-ngeni, meno-meni, ngeto-ngete, kuto-kute dan meriak-meriku. Atau
kebanyakan mereka menyebutnya berdasarkan wilayah penyebaran dialek itu, yaitu
dialek tengah, dialek utara, dialek timur, dialek tenggara, dan dialek timur
tengah.[4]
2.6. Faktor terjadinya Ragam/ Perbedaan Bahasa
1.
Sosial politik: luas wilayah dan banyaknya penduduk, sehingga pemerintah tidak
bisa menyatukan pemikiran dan bahasa mereka.
2.
Psikologi: beragam adat, budaya dan rasa budaya menimbulkan ungkapan yang
berbeda-beda. Misalnya bahasa.
3.
Geografis: terpisahnya wilayah seperti oleh gunung, gurun, sungai, akan
melahirkan perbedaan berbahasa. Daerah arab yang dipisah oleh gurun pasir, dan
padang sahara sehingga mereka berkelompok-kelompok dan berpindah-pindah mencari
oase.
4.
Keturunan (etnografis): adanya faktor keturunan yang cenderung mempunyai ciri
khas tertentu. Quraisy sangat fasih dalam mengucapkan huruf “dhad” / “ain”,
beda dengan jawa “dat” / “ngain”.
5.
Fisiologis: berbedanya alat ucap dari masing-masing orang. Misalnya adanya
konsep imalah diantara kabilah.
6.
Sosial: kelas sosial tertentu yang menganggap lebih tinggi dari pada yang lain.
Misalnya dialek Quraisy dianggap lebih fasih.
7.
Bercampurnya satu kelompok/ individu dengan yang lainnya. Misalnya: adanya
pasar ukaz yang didatangi Arab badui dan perkotaan.[5]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Definisi
Bahasa menurut para ahli :
Filsuf; Aristoteles: alat untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan manusia.
Linguis Arab; Ibnu Jinni: bunyi-bunyi yang
diungkapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya.
Linguis Barat; De Saussure: sistem
mentalistik dasar yang berupa hubungan unsur-unsur kebahasaan dari fonologi,
morfologi dan sintaksis dan Bahasa terdiri dari Langue, Langage dan Parole.
Sejarah
Lahirnya Bahasa:
1. Hipotesis Monogenesis
(tauqifi); berasal dari Tuhan.
2. Teori Istilah; bahasa dimulai
dari kerendahan diri dan kesepakatan.
3. Teori Onomatopetik; bahasa
berasal dari tiruan gejala alam.
4. Toeri Ntivistik; tidak jauh berbeda dari teori Onomatopetik,
ia lebih menekankan pada bunyi kalimat
yang menunjukkan maknanya.
Faktor-Faktor
Tumbuh Kembang Bahasa :
Esternal : Internal:
1. Sosial
manusia 1.
Sistemtisasi Fonologi, misalnya: otografi, ejaan.
2. Kebudayaan
manusia 2.
Sistematisasi kaidah Morfologi, misalnya:
3. Teknologi
manusia Isytiqaq, Ta’rib
4. Otoritas
penguasa (Politik) 3.
Sistematisasi Semantik Leksikal, misalnya:
5. Ilmu
pengetahuan manusia Tadkhil, tadadd, taradduf, irtijal, iqtirad
6. Kejadian alam
yang baru 4.
Penyusunan Kamus
7. Asimilasi
dengan bahasa lain 5.
Sintematisasi kaidah Sintaksis, misalnya: bina’, i’rab
3.2. Saran
Mungkin
inilah yang diwancanakan pada penulisan kelompok kami meskipun penulisannya
jauh dari sempurna. Banyak kesalahan dari kelompok kami, karena kami manusia tempat
salah dan dosa. Dan kami juga membutuhkan saran atau kritikan agar bisa menjadi
motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ya’qub, Emil Badi’. 1982. Fiqh Al – Lughah Wa Khasaishuha.
Bairut : Darus Shaqofah Al Islamiyah
Abd al-Tawwab,
Ramadhan. 1999. Fushul fi al-Arobiyah. Kairo: Maktabah
al-Chonji
Keli, Asbah. 2009. Variasi Bahasa dan
Penyebabnya.
http://asbahlinguist.blogspot.co.id/2009/03/variasi-bahasa-dan-faktor-penyebabnya.html
Anshori,
Dadang S. Telaah Bahasa dalam Sistem Kekuasaan Negara.
file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR.../maka_kekerasan_bahasa.pdf
Luthfi, Habibi Muhammad. PPT Fiqh Lughah
2015
[1] Emil Badi‟ Ya‟qub, Fiqh al-Lugah wa Khashaisuha, Dar
al-saqafah al-islamiyah, Beirut, 1982, hlm. 3
[2] Dadang S. Anshori, “Telaah Bahasa dalam Sistem Kekuasaan Negara”,
file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR.../maka_kekerasan_bahasa.pdf
[3] Ramadhan Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah, Maktabah
al-Chonji, Kairo, 1999, hlmn. 72
[4] Asbah
Keli, “Variasi Bahasa dan Faktor Penyebabnya”, http://asbahlinguist.blogspot.co.id/2009/03/variasi-bahasa-dan-faktor-penyebabnya.html, diakses 12 Pebruari 2016
pukul 19.37
[5] Habibi Muhammad Lutfi, M.Hum, Ppt Fiqh
Lughah 2015
0 Response to "MAKALAH FIKIH LUGHOH PENGERTIAN LUGHOH"
Post a Comment