MAKALAH FIKIH LUGHOH PENGERTIAN LUGHOH

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

            Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat berkomunikasi, saling menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan.

            Pemikiran seseorang tentunya akan lebih mendapat pengakuan ketika sudah “dituliskan” sehingga orang lain yang membaca akan mengetahui apa yang ingin disampaikan seorang penulis. Pada dasarnya seluruh kegiatan manusia akan sangat berkaitan erat dengan bahasa. Entah sekedar bercakap-cakap dengan teman, atau dalam kegiatan formal seperti sekolah, kuliah bahkan dalam pekerjaan. Filsafat juga tidak dapat lepas dari bahasa. Banyak filsuf yang justru mengawali pemikirannya dari problem bahasa. Tentunya bahasa disini bukan berarti sekedar mempelajari tata gramatikal bahasa ataupun bahasa asing, melainkan bagaimana pengertian seseorang dapat terpengaruh ‘hanya’ dari penggunaan kata-kata atau pemikiran. Sangat penting untuk dapat tetap berpikir kritis dalam mengerti ucapan seseorang maupun teks.

            Teori-teori yang berkembang dalam filsafat bahasa inilah yang kemudian menjadi alat bagi setiap orang untuk dapat lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik yang terucapkan maupun dalam bentuk teks. Mungkin akan terkesan “ah, bahasa kan sama saja dengan perbincangan sehari-hari, apa susahnya sih? Toh, ucapan-ucapan itu bisa saja mudah dimengerti.” Memang kesannya bahasa tidak ada kaitannya dengan filsafat. Tapi Bahasa ternyata tidak hanya mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga dapat menjadi hal yang kompleks. Sebuah perjanjian antar negara juga menggunakan bahasa yang disepakati pihak-pihak yang terkait agar tercapai kesepakatan. Tanda-tanda yang hadir dalam kehidupan kita sehari-hari juga bagian dari bahasa. Contoh, rambu-rambu lalu lintas tentu akan sangat tidak efisien jika dituliskan dalam bentuk huruf.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian bahasa?

2. Apa saja teori-teori sejarah lahirnya bahasa?

3. Bagaimana cara dan faktor-faktor tumbuh kembangnya bahasa?

4. Bagaimana perbedaan bahasa dan dialek?

5. Bagaimana faktor-faktor persebaran dan perbedaan bahasa?

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Bahasa

Sejak dulu, belum dijumpai kata sepakat mengenai definisi bahasa. Hal ini selalu menjadi perdebatan antar linguis dan ilmuwan umum seperti psikologi, logika, filsafat, biologi dan lain-lain. Karena setiap ilmuwan menafsirkan bahasa dari perspektif mereka sendiri. Menafsirkan bahasa menurut fak mereka masing-masing. Seperti para linguis yang mengkaji bahasa dari perspektif filsafat logika. Jika diperhatikan, pengkajian ini menuai banyak kontroversi dilarenakan perbedaan pendapat individu. Begitu pun dengan tiga hal (definisi, perkembangan, dan tugas). Tetapi perbedaan yang paling mencolok adalah dalam segi pendefinisian bahasa.

Para linguis mengemukakan bahwa bahasa bisa dikaji dari segi sosialnya, kebudayaan, dan darimana bahasa tersebut diperoleh, tidak ada sifat biologis yang mengikuti dalam kesatuannya. Disusun atas rumus fonologi bahasa, ia diperoleh melalui pengujian. Maknanya ditetapkan melalui pemikiran, dan dengan metode ini para pengikutnya bisa mengerti.

2.2. Perkembangan Bahasa

Para ilmuwan terus meneliti tentang perkembangan bahasa dari zaman dahulu, ini dikarenakan bahasa adalah hal penting yang menjadi dasar  komunikasi bagi manusia. Dengan bahasa juga, pembeda utama yang membedakan manusia dari hewan. Dalam hadits: “manusia adalah hewan yang berkata-kata”. Meskipun tema tentang perkembangan bahasa termasuk salah satu masalah manusia yang sangat tua dan selalu difikirkan, banyak para peneliti yang meneliti hal tersebut. Ada banyak sekali pandangan mengenainya, dan memungkinkan bagi kita, umumnya untuk mengembalikan pandangan-pandangan global mengenai beberapa teori yang dikemukakan.

1. Hipotesis Monogenesis (Tauqifi)

            Teori ini menyatakan bahwa bahasa berasal dari tuhan. Dan yang mendukung teori ini adalah ibnu faris dan banyak lagi. Diantaranya Heraclite, Abu Lawi, Filsuf De Boland. Dalil yang mereka gunakan bukanlah dalil ‘aqli, melainkan mereka menggunakan dalil naqli. Ini dikarenakan mereka berpegang kepada firman tuhan: أدمَ الأسماءَ كلَّها وعلّم”. Dan mereka pun berpedoman kepada apa yang telah termaktub dalam kitab taurat dan injil. Bahwa sesungguhnya Allah menciptakan  bumi dengan berbagai macam hewan darat dan udara. Maka Allah menghadirkan seluruh hewan-hewan ini kepada Adam agar ia tau apa akan didakwahkan kepada mereka. Dan segala sesuatu yang Adam panggil memiliki nama. Maka Adam memanggil nama segenap hewan-hewan melata, beburungan, dan seluruh hewan darat. Sementara ilmu lughah (linguistik) hari ini, menolak teori ini. Maka kemudian wahyu tuhan: أدمَ الأسماء كلّها وعلّم” membawa maknanya sendiri. Seperti yang telah diterangkan Ibnu Jinni dan yang lainnya bahwa Allah memberi kekuasaan kepada manusia untuk menentukan lafal. Dan dalam taurat tidak ada dalil atas teori ini.

2. Teori Istilah

            Teori ini menyatakan bahwa sesungguhnya bahasa dimulai dari kerendahan diri dan kesepakatan. Yang berada pada teori ini adalah ibnu Jinni dan banyak lagi, antara lain Democrite, adam Smith, Reid dan yang lainnya. Ibnu Jinni berkata bahwa ”tidak sedikit ilmuwan yang menyatakan bahwa bahasa berasal dari kerendahan diri dan istilah, bukan wahyu ataupun tauqif”. Tetapi teori ini tidak diperkuat dengan dalil, entah itu dalil naqli ataupun histori. Tetapi sesungguhnya apa yang ia kemukakan bertujuan untuk melawan wahyu umum yang didalamnya tertera aturan bersosialisasi. Dengan teori ini ia memberitahukan kepada kita bahwa ia tidak membelenggu ataupun menciptakan sesuatu melainkan terbentuk dengan sendirinya secara berangsur-angsur dari kemauannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kerendahan diri atas penamaan mendapat kesepakatan dari banyak pihak. Dan menjadikan teori ini sebagai teori perkembangan bahasa dan yang menyepakati ini adalah dirinya sendiri seperti teori sebelumnya.

3. Teori Onomatopetik atau Teori Bow-Wow

            Teori ini menyatakan bahwa sesungguhnya bahasa berasal dari tiruan gejala alam, seperti suara hewan atau fenomena alam, dan suara ketika bekerja. Ibnu Jinni memperhatikan bagaimana para pencetus teori ini memecahkan masalah perkembangan bahasa, para peneliti berkata:” kembali kepada pembentukan bahasa, teori ini berasal dari suara-suara yang terdengar, seperti debur ombak, gemuruh petir, gemericik air, suara keledai, aokan gagak, ringkik kuda, suara kijang ketika minum, dan lain sebagainya. Kemudian lahirlah bahasa atas dasar itu semua. Dan aku memiliki pendapat yang baik dan madzhab yang menyetujui. Telah jelas bahwa Ibnu Jinni takjub atas kehadiran teori ini. Ia membuat satu bab khusus yang diberi nama “bab fii imsaasi al-alfad asybaahu al-ma’na” ia berkata: “walaupun belum memperhatikan tentang itu, entah dengan penamaan sesuatu berdasar suaranya, seperti lalat dengan suaranya, itik dengan suaranya, dan lain sebagainya. Seperti juga حاحيت, عاعيت, هاهيت jika kamu menyebut حاء, عاء, هاء. Dan juga basmalat, hailalat, dan hauqolat. Seperti itulah kesamaannya. Meskipun kembali dari etimologi sampai suara.” Dan kejadian yang berdasar atas teori ini tidak dapat di tentang, seperti seekor biring yang dinamai Cuckoo di Inggris karena ia mengeluarkan suara yang kini menjadi namanya.

4. Teori Nativistik atau Teori Ding Dong

            Teori  ini tidak jauh berbeda dari teori Bow-waw, ia lebih menekankan pada bunyi kalimat yang menunjukkan maknanya. Ibnu Jinni yang mengetahui teori ini sangat takjub. Teori ini dikelompokkan menjadi 1. “bab yang di dalamnya membahas tentang mendekati lafal untuk mendekati makna” dan mengumumkan atas dua isim “bab yang membahas tentang menyentuh lafal untuk memuliakan makna”. Dikatakan dalam bab 2: ketahuilah bahwa sesungguhnya pembahasan ini sangat halus dan peka”. Diantara tokoh yang terkenal adalah Al-Khalil dan Syibawaih. Dia menemui jamaah dan disambut dengan baik, mereka mengakui kebenaran teori ini. Al-Khalil berkata: mereka seperti membayangkan suara belalang yang tinggi dan panjang. Maka mereka menggunakan: صر dan mereka membayangkan suara … yang terpatah-patah, maka mereka menggunakan: صرصر. Syibawaih juga mengatakan bahwa masdar-masdar yang mengikuti wazan fa’laan sesungguhnya ia terbentuk atas kekacauan dan gerakan, seperti contoh نقزان , غليان, غثبان…. Dan aku menemukan banyak hal dari kabar ini …. Ini dikarenakan kamu menemukan masdar-masdar ruba’i mudho’af yang memiliki makna pengulangan. Seperti contoh: زعزعة, قلقلة, صلصلة, قعقعة, عصعصة, جرجرة, قرقرة. Dan dari sini mereka mengatakan: dan sebagainya. Sedangkan huruf syin (ش) memiliki sifat yang menyerupai …… dangan dal (د) yang sifatnya lebih kuat dari syin, meskipun dia diidghomkan. Karena dal lebih kuat sifatnya dibanding syin yang menunjukkan atas makna yang diinginkan. Syaikh Subhi as-Salih yang takjub mengetahui adanya teori ini membuat sebuah bab dalam kitabnya “dirosah fiqhul lughah” yang diberi judul “munasabah huruf al-arabiyah li ma’aniha  ia menegaskan bahwa  antara lafal dan makna memiliki hubungan yang alami sebagaimana telah di jelaskan Ibnu Jinni dalam “tu’addu fathan mubinan fii fiqh al-lughah” (kemajuan dalam linguistik umum).[1]

2.3. Faktor Tumbuh Kembang Bahasa

1. Sosial Manusia

            Sosial manusia tentu mempengaruhi perkembangan bahasa. Manusia berinteraksi satu sama lain pastinya banyak mengeluarkan kosa kata atau ujaran-ujaran baru untuk mempermudah berinteraksi satu sama lain.

2. Kebudayaan Manusia

            Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal tersebut dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah. Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk menggantikan kata piknik; dan kata suku cadang untuk menggantikan kata onderdil. Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap kurang rasional. Karena itu perlu diganti yang bersifat rasional. Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah tangga. Dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal.

            Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan, kenaikan harga diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tunasusila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus ; kurang sopan menurut pandangan norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.

3. Otoritas Penguasa (Politik)

            Bahasa dalam setiap rezim kekuasaan memiliki warna yang berbeda. Sejarah ejaan bahasa indonesia menunjukkan bahwa setiap rezim kekuasaan memiliki kepentingan terhadap keberperanan bahasa selaras dengan kecenderungan kekuasaan. Pada masa Orde Baru misalnya, intervensi yang nyata dari rezim ini adalah pemiskinan makna dalam bahasa-bahasa yang sentralistik. Makna bahasa diikat dalam suatu kepentingan politik penguasa dan diberikan secara mentah-mentah kepada masyarakat untuk dipakainya. Otoritas makna dan dominasi publik membuat bahasa-bahasa politik menjadi bermakna tunggal. Ketika banyak kerusuhan dan penentangan terhadap kesewenang-wenangan, penguasa membuat kosakataprovokator dan “aktor intelektual” yang memiliki makna secara teknis sama dengan pelaku makar. Orang-orang yang dituduh sebagai provokator diposisikan sebagai musuh negara dan harus dimusuhi masyarakat banyak. Paling tidak, rezim Orde Baru telah membentuk warna bepikir yang seragam dalam bentuk dan polanya karena senantiasa dikontrol oleh kekuasaan.

            Lain halnya pada era reformasi yaitu pemerintahan BJ. Habibie. BJ. Habibie membuka babak baru komunikasi yang terbuka. BJ. Habibie terbukti telah mengembangkan pola baru dalam komunikasi birokrasi yang cerdas, kritis, terbuka dan intelek. Habibie bukan hanya sanggup mengkritik dengan kecerdasannya, namun juga telah sangat terbuka dan siap dikritik dalam banyak sisi kehidupan bernegara. Dalam banyak kesempatan komunikasi, BJ. Habibie telah menghidupkan budaya bahasa yang tidak berambigu dan memungkinkan orang lain berpikir dalam kerangka bahasa yang dipakainya. Sikap terbuka ini memunculkan konsekuensi logis pada penggunaan bahasa komunikasi yang berlainan dari pemerintahan sebelumnya. Munculnya sikap kritis dan penggunaan bahasa yang transfaran. Andaikata di masa pemerintahan Orde Baru, penggunaan bahasa birokrasi berbau eufimisme dan pleonasme, maka di masa pemerintahan BJ. Habibie bahasa yang dipergunakan sangat terbuka dan tidak ambigu. Oleh karena itu pemikiran yang kritis dengan terbuka pula bisa disampaikan. Istilah-istilah “kesalahan prosedur” sudah berganti menjadi “korupsi”.[2]

 

2.4. Pengertian Dialek

            Dialek atau dalam bahasa Arab disebut dengan lahjah adalah kumpulan dari sifat-sifat bahasa (variasi bahasa) yang berhubungan dengan suatu lingkungan atau tempat khusus dan dipakai oleh setiap penduduk lingkungan tersebut. Dialek merupakan variasi dari bahasa dan bukan merupakan ragam dari suatu bahasa. Karena dialek termasuk bagian khusus dari suatu bahasa, oleh karena itu dialek masih bagian dari cakupan bahasa dan bukan bahasa tersendiri.

            Bahasa Arab adalah salah satu dari rumpun bahasa Samiah yang mempunyai berbagai macam dialek yang menyebabkan perbedaan dalam membaca dan berbicara sehingga tidak heran jika dikatakan Al-Quran itu turun dengan tujuh huruf (نزل القرأن على سبعة أحرف).

            Adapun menurut Kamus Besar Bahasa indonesia dialek merupakan variasi bahasa yang berbeda- beda menurut pemakainya. (misalnya bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu. Adapun hubungan antara bahasa dan dialek merupakan hubungan yang khusus dengan umum. Dalam artian lingkungan dialek bagian dari lingkungan yang lebih luas atau lebih menyeluruh cakupannya. Dalam lingkungan yang lebih luas tersebut terdapat gabungan dari beberapa dialek. Setiap dialek memiliki ciri khusus dan sebagai penyokong bahasa.[3]

2.5. Perbedaan Bahasa dan Dialek

            Memang agak sedikit membingungkan bila kita bertanya dimana letak perbedaan dan bagaimana membedakan antara bahasa dan dialek. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa dialek merupakan bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu. Dengan kata lain bahwa dialek tidak lain dari pada suatu variasi bahasa yang berbeda secara konsisten dari variasi-variasi lain dari bahasa yang sama yang digunakan di kawasan-kawasan geografis yang berlainan dan oleh kelompok – kelompok social yang juga berlainan. Untuk menentukan apakah itu bahasa atau dialek, maka cara yang bisa digunakan adalah dilihat dari sejarahnya. Sedikit banyak akan bergantung pada hubungan sejarah keduanya. Kemudian ciri lain yaitu homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsure – unsure bahasa tertentu. Misalnya para ahli dialektologi percaya bahwa apakah katakana saja X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, atau dua subdialek, ataukah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang maka keduanya disebut bahasa. Tetapi kalau mencapai 40-60% keduanya disebut dialek, dan kalau bisa mencapai 90% maka jelas keduanya hanya merupakan dua variasi saja dari sebuah bahasa. Contohnya etnis jawa mengakui bahasanya adalah bahasa Jawa, terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Bagelen (Jawa Tengah bagian selatan), dialek Solo-Yogya, dialek Jawa Timur (Surabaya, Malang, Mojokerto, Pasuruan), dialek Osing (Banyuwangi) . Contoh lain misalnya suku sasak yang mendiami pulau Lombok akan mengakui bahasanya adalah bahasa sasak (base sasak), terdiri dari dialek ngeno-ngeni, meno-meni, ngeto-ngete, kuto-kute dan meriak-meriku. Atau kebanyakan mereka menyebutnya berdasarkan wilayah penyebaran dialek itu, yaitu dialek tengah, dialek utara, dialek timur, dialek tenggara, dan dialek timur tengah.[4]

2.6. Faktor terjadinya Ragam/ Perbedaan Bahasa

1. Sosial politik: luas wilayah dan banyaknya penduduk, sehingga pemerintah tidak bisa menyatukan pemikiran dan bahasa mereka.

2. Psikologi: beragam adat, budaya dan rasa budaya menimbulkan ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya bahasa.

3. Geografis: terpisahnya wilayah seperti oleh gunung, gurun, sungai, akan melahirkan perbedaan berbahasa. Daerah arab yang dipisah oleh gurun pasir, dan padang sahara sehingga mereka berkelompok-kelompok dan berpindah-pindah mencari oase.

4. Keturunan (etnografis): adanya faktor keturunan yang cenderung mempunyai ciri khas tertentu. Quraisy sangat fasih dalam mengucapkan huruf “dhad” / “ain”, beda dengan jawa “dat” / “ngain”.

5. Fisiologis: berbedanya alat ucap dari masing-masing orang. Misalnya adanya konsep imalah diantara kabilah.

6. Sosial: kelas sosial tertentu yang menganggap lebih tinggi dari pada yang lain. Misalnya dialek Quraisy dianggap lebih fasih.

7. Bercampurnya satu kelompok/ individu dengan yang lainnya. Misalnya: adanya pasar ukaz yang didatangi Arab badui dan perkotaan.[5]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

            Definisi Bahasa menurut para ahli :

Filsuf; Aristoteles: alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia.

Linguis Arab; Ibnu Jinni: bunyi-bunyi yang diungkapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya.

Linguis Barat; De Saussure: sistem mentalistik dasar yang berupa hubungan unsur-unsur kebahasaan dari fonologi, morfologi dan sintaksis dan Bahasa terdiri dari Langue, Langage dan Parole.

            Sejarah Lahirnya Bahasa:

1. Hipotesis Monogenesis (tauqifi); berasal dari Tuhan.

2. Teori Istilah; bahasa dimulai dari kerendahan diri dan kesepakatan.

3. Teori Onomatopetik; bahasa berasal dari tiruan gejala alam.

4. Toeri Ntivistik; tidak jauh berbeda dari teori Onomatopetik, ia lebih menekankan pada bunyi      kalimat yang menunjukkan maknanya.

            Faktor-Faktor Tumbuh Kembang Bahasa :

Esternal :                                                       Internal:

1. Sosial manusia                                           1. Sistemtisasi Fonologi, misalnya: otografi, ejaan.

2. Kebudayaan manusia                                 2. Sistematisasi kaidah Morfologi, misalnya:

3. Teknologi manusia                                        Isytiqaq, Ta’rib

4. Otoritas penguasa (Politik)                        3. Sistematisasi Semantik Leksikal, misalnya:

5. Ilmu pengetahuan manusia                                        Tadkhil, tadadd, taradduf, irtijal, iqtirad

6. Kejadian alam yang baru                            4. Penyusunan Kamus                        

7. Asimilasi dengan bahasa lain                      5. Sintematisasi kaidah Sintaksis, misalnya: bina’,                                                                         i’rab

3.2. Saran

            Mungkin inilah yang diwancanakan pada penulisan kelompok kami meskipun penulisannya jauh dari sempurna. Banyak kesalahan dari kelompok kami, karena kami manusia tempat salah dan dosa. Dan kami juga membutuhkan saran atau kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Yaqub, Emil Badi. 1982. Fiqh Al – Lughah Wa Khasaishuha. Bairut : Darus Shaqofah Al Islamiyah

Abd al-Tawwab, Ramadhan. 1999. Fushul fi al-Arobiyah. Kairo: Maktabah al-Chonji

Keli, Asbah. 2009. Variasi Bahasa dan Penyebabnya.

http://asbahlinguist.blogspot.co.id/2009/03/variasi-bahasa-dan-faktor-penyebabnya.html

Anshori, Dadang S. Telaah Bahasa dalam Sistem Kekuasaan Negara.

file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR.../maka_kekerasan_bahasa.pdf

Luthfi, Habibi Muhammad. PPT Fiqh Lughah 2015



[1] Emil Badi‟ Ya‟qub, Fiqh al-Lugah wa Khashaisuha, Dar al-saqafah al-islamiyah, Beirut, 1982, hlm. 3

[2] Dadang S. Anshori, “Telaah Bahasa dalam Sistem Kekuasaan Negara”, file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR.../maka_kekerasan_bahasa.pdf

[3] Ramadhan Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah, Maktabah al-Chonji, Kairo, 1999, hlmn. 72

[4] Asbah Keli, “Variasi Bahasa dan Faktor Penyebabnya”, http://asbahlinguist.blogspot.co.id/2009/03/variasi-bahasa-dan-faktor-penyebabnya.html, diakses 12 Pebruari 2016 pukul 19.37

[5] Habibi Muhammad Lutfi, M.Hum, Ppt Fiqh Lughah 2015

0 Response to "MAKALAH FIKIH LUGHOH PENGERTIAN LUGHOH"

Post a Comment