Madzhab
Basrah[1]
Abstract
Berbicara
tentang linguistik Arab, tak bisa dipisahkan dengan ilmu Nahwu, Karena dalam ilmu tata bahasa Arab, ilmu inilah yang
pertama kali mencapai kematangan dari segi epistemologi. dalam sejarah ilmu
nahwu, terdapat beberapa madzhab nahwu, yaitu madzhab Bashrah, Kufah, Baghdad,
Andalusia dan Mesir. Namun di sini, hanya akan disajikan madzhab saja, Bashrah.
mengingat pengaruh dan kontribusi dari madzhab tersebut dalam bidang
nahwu begitu besar.
A.
Pemdahuluan
Menjadi suatu hal yang
maklum bahwa di dalam dunia keilmuan terdapat banyak argumentasi dan dengan
banyaknya argumentasi itu maka bisa kita golongkan menjadi sebuah argumentasi
yang senada (saling mendukung dan memperkuat) dan adapula argumentasi yang
mengkritik argumen yang lainnya.
Implikasi dari fenomena
diatas adalah munculnya berbagai madzhab dalam satu kajian keilmuan dan hal
tersebut juga menimpa ilmu kebahsaan khususnya bahasa Arab. Di dalam ilmu
kebahasa Araban kita akan menemukan madzhab Bashroh, Kuffah, Baghdad,
Andulusia, dsb. Semua madzhab tersebut memiliki temuan yang berbeda dan
sama-sama memilki argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Sebagai mahasiswa
pendidikan bahasa Arab, mengetahui semua madzhab tersebut menjadi sebuah hal
yang urgen, karena kita bisa mengetahui alur pemikiran dari masing-masing
madzhab sehingga hal tersebut bisa memperkaya wawasan kita mengenai kebahasa
Araban.
Pada kesempatan kali ini kami akan mengupas secara
mendetail terkait denganmadzhab Basrah mulai dari asal-usul beserta ruang
lingkup, tokoh yang berperan, sumber keilmuannya, dan yang terakhir berhubung
pada kajian ini kita lebih spesifik pada ilmu nahwu maka kita juga akan bahas
bagaiman ushulin nahwinya.
B.
Pengertian
Madzhab Basrah
Basra atau Basrah (البصرة al-Baṣra) secara bahasa diartikan
sebagai tanah padas. Nama ini di ambil dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak
mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini
diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk
dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil
manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural.[2]
Kota Basrah adalah kota terbesar kedua di Irak, terletak sekitar 545 km dari Bagdad.[3] Kota ini di dirikan pada tahun 15 hijriah oleh Atabah
bin Ghoswan atas perintah kholifah Umar bin Khattab.[4]
Kota basrah adalah pencetus ilmu nahwu, disana ilmu nahwu
tumbuh dan berkembang di tangan para ulama basrah, terciptanya kondisi Basrah
seperti ini tidak lepas dari beberapa hal, diantaranya:
1.
Letak
Geografis
Di dekat kota Basrah terdapat sungai Tigris dan Euphrates
yang mengalir dan bermuara di laut. Kondisi strategis seperti ini tentunya akan
berpengaruh kuat terhadap personalitas penduduk dan membuat mereka terkenal
juga kematangan berpikir.
Letak kota Basrah yang berada di pinggir pedalaman,
membuat mereka fasih dalam berbahasa dan masih murni, terbebas dari cacat lahn
dan kata-kata asing. Basrah juga terkenal sebaga pelabuhan perdagangan bagi
Irak di teluk Arab, maka di kota inilah pijakan awal unsur-unsur asing datang
dan kemudian brimbas di bidang perdagangan dn kemajuan investasi. di kota ini
terdapat aliran Ayi’ah dan Mu’tazilah yang telah membuka lebar pengambilan
keilmuan Yunani. Ini sangat berpengaruh dalam mazhab ilmu kalam mereka dan juga
berimbas pula pada ilmu nahwu dalam hal taqsim, ta’lil, ta’wil dan qiyas.
2.
Stabilitas
Sosial
Basrah adalah kota yang aman stabil serta terlepas dari
instabilitas politik dan pertentangan madzhab. Kondisi seperti ini telah
menghantarkan Basrah menjadi kota yang berperadaban, disibukkan dengan berbagai
aktifitas keilmuan, dan memanfaatkan keanekaragaman budaya. Kehidupan yang
stabil ini juga menuntut kehidupan intelektualitas yang tertib.
3.
Pasar
mirbad
Pasar ini adalah pasar yang terkenal yang terletak di
pintu barat kota Basrah. Awal mula di dirikan pasar ini karena orang-orang yang
arab yang datang di Basrah dari tengah jazirah Arab menemukan tempat yang
nyaman untuk menunda perjalanan dan menambatkan unta mereka. Mereka kemudian
menjadi penduduk kota Basrah. Mereka menanti di tempat tersebut untuk berdagang
dan bertukar hal yang bermanfaat. Dan disana tercipta aktifitas perdagangan
dimana para empunya adalah para penyair dan sastra, sehingga hiduplah nuansa
sastra kemudian mereka bersaing di pasar tersebut dalam keindahan.
4.
Masjid
Basrah
Terdapat berbagai macam majelis di dalam masjid yang
biasanya dibuat untuk mengkaji sebuah ilmu, diantaranya majlis kajian tafsir,
ilmu kalam, bahasa, dan lain-lain. Diantara majelis tersebut adalah: Majlis
Himad bin Sulmah. Sibawaih ikut bergabung dalam majelis ini, majelis Musa bin
Siyar al-Aswari. Menurut Yazidz, dia adalah Seorang yang ahli dalam bahasa
persia dan bahasa Arab. Dalam kajiannya yang di hadiri orang Arab dan orang
Persi, dia membacakan al-Qur’an dan menafsirkannya dengan orang Arab dengan
bahasa Arab kemudian berpaling ke orang-orang Persi dan menafsirkannya dengan
bahasa Persia, majelis Abu Umar bin al-Ila. Kajian ini mengajarkan qiro’ah,
bahasa dan Nahwu, majelis Khalil bin Ahmad al-Farahidi, majelis ini menjadi
salah satu majelis yang terkenal. Para murid dai majelis ini kemudian menjadi
pakar bahasa dan nahwu, diantaranya Sibawaih, an-Nadhar bin Syamil, Ali bin
Hamzah al-Kisai, Abi Muhammad al-Yazidi, al-Ashmai dan yang lainnya, dan majelis
Yunus bin Habib, halaqah ini dimulai pada masa Khalil dan mencapai kesempurnaan
setelah wafatnya. Diantara para pemimpin kajiannya adalah Abu Ubaidah,
al-Ashmai, Abu Zaid al-Anshari, Qathrab, Sibawaih, Abu Umar al-Jurmi. Al-Kisai,
al-Farra’, Khalf Ahmar dan Ibnu Salam al-Jur’i.[5]
Catatan terakhirnya adalah madzhab Basrah adalah semua
nalar ilmu yang berkiblat kepada teori-teori yang dibangun oleh para tokoh yang
menimba ilmu di kota Bashroh dimana ilmu nahwu pertama kali muncul.
C.
Sumber
ilmu bahasa madzhab Basrah
Sumber yang umum yang digunakan oleh para ulama dalam
menyusun teori-teori nahwu ialah Al-qur’an dan juga hadist. Kedua sumber ini
pula yang digunakan oleh madhab bashroh sebagai sumber utama. Hal ini bisa kita
lihat dengan adanya argumen yang dilontarkan oleh para tokoh guna menguatkan
teori yang mereka susun.
Penggunaan Al-qur’an dan hadist diatas juga diperkuat
dengan bagaimana para tokoh yang terhimpun didalam madzhab Basroh itu pawai
atau ahli didalam ilmu qiroah dan tak sedikit pula dari mereka merupakan
rijalul hadist. Hal ini tentu sangat penting dan membantu mereka dalam menyusun
teori nahwu, karena tanpa ia membuka Al-qur’an atau al hadis mereka bisa
mereka-reka dan mencari dalil yang tepat untuk sebuah teori dengan apa yang
mereka hafal.
Selain itu, ulama’ Basrah memiliki tradisi mengunjungi qabilah-qabilah Arab
yang tinggal di pedalaman-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari
penutur aslinya[6]. Terkadang pula mereka
mendatangi orang pedalaman tersebut kemudian membawanya ke kota dan tinggal di
kota untuk tujuan berniaga di pasar al-Mirbad.
Dengan begitu, interaksi kaum pedalaman Arab (Arab badwi)
dengan ulama Bashrah tidak hanya terjadi di kampung-kampung Baduwi, tetapi juga
di pasar al-Mirbad. para ulama Basrah ahli di bidang manthiq (logika). Sehingga
mereka dapat membuat teori-teori/kaidah-kaidah untuk mempermudah dalam
mempelajari Nahwu.
Di
antara qabilah yang paling sering mereka kunjungi para ulama’ adalah Tamim dan Qais.
Karena kedua qabilah itu belum bercampur dengan masyarakat di luar Arab
(‘ajam). Kondisi ini sangat memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap
kefashihan bahasa penduduk Bashrah dan keterjagaan bahasa mereka.
Ulama’ yang sering melakukan perjalanan ke pedalaman,
melakukan survey bahasa dan mengumpulkannya adalah Khalil bin Ahmad, Yunus bin
Habib, Nadhar bin Syamil, dan Abu Zaid al-Anshari. [7]
Dari penjelasan diatasa dapat ditarik kesimpulan bahwa
selain Al-qur’an dan al hadis, ulama Bashroh juga menjadikan bahasa orang Arab
sebagai sumber dalam penyusunan teori nahwu. Bahasa orang Arab tadi nantinya
terhimpun dalam beberapa syi’iran dan maqol yang nantinya para tokoh Basroh
akan menyebutkan darimana ia mengutip syi’iran atau singkat kata pemilik dari
syi’ir tersebut dan sumber maqol itu sendiri. Bahkan begitu telitinya ulama
basroh didalam menjamin validitas syi’ir tersebut maka terkadang ia
mencantumkan perawi atau sanad hingga orang pemilik syi’ir tersebut.[8]
Dalam perkembangannya syarat menjadikan syi’ir dengan
mencantumkan pemiliknya dalam madzhab Basroh tidak selamanya dipakai, hal itu
terlihat bagaimana imam Sibawaih menggunakan syi’ir tanpa mengetahui
pemiliknya, akan tetapi yang dicantumkan Syibawaih itu hanyalah segelintir
syi’ir, berbeda dengan madzhab lain yang bebas menggunakan syi’ir tanpa
pemilik.[9]
D.
Tokoh
dan karya ulama Basroh
Sebagai madzhab yang
paling awal, maka umur madzhab Basroh sendiri sudah semestinya sangat tua
dibandingkan dengan madzhab yang lainnya sehingga tokoh yang dilahirkan leh
madzhab inipun terbilang sangat banyak. Didalam bukunya, Abdullah Muzzaki
menyebutkan setidaknya ada 33 tokoh. Namun dalam kesempatan kali ini kami akan
memaparkan dengan pembagian secara periodik.
Dari awal kemunculannya
dan perkembangannya, madzhab Basroh bisa kita petakan menjadi 8 generasi.[10] Generasi
pertama dipelopori oleh Abu Aswad Ad du’ali dan Abdurrahman bin Hurmuz. Ad
du’ali sendiri lahir pada masa jahiliyah, tepatnya tahun ke3 sebelum nabi
Muhammad diangkat sebagai Rasulullah. Beliau dijuluki sebagai bapak ilmu nahwu
karena beliaulah yang menjadi perintisnya sekaligus mengajarkan kepada
masyarakat. Selain belajar ilmu qiroah beliau banyak belajar ilmu nahwu kepada
sayyidina Ali r.a. Di kota Basrah beliau juga diangkat sebagai qodli. Tidak ada
satu karyapun yang dinisbatkan terhadap beliau, akan tetapi, ada sejumlah tema
nahwu yang dibahas oleh beliau, yaitu bab inna wa akhwatuha, bab ta’ajub,
bab fa’il dan maf’ul bih, bab mudlof, bab alamat i’rab.[11] Sedangkan
abduraahman ialah orang yang rasionalis dimana ia banyak menghabiskan waktunya
di Madinah dan mengajarkan ilmu nahwu disana. Beliau wafat pada tahun 117 H di
Mesir karena sebelum wafat beliau memutuskan pindah ke Mesir disebabkan
orang-orang Madinah tidak menyukai Rasionalitasnya. Sama halnya dengan ad
du’ali, tidak ada karya yang dinisbatkan terhadap beliau.[12]
Karakteristik periode ini ialah para ulama Bashrah mayoritas adalah seorang
qori’, memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab dan Al qur’an,
awal penyusunan teori nahwu diawali ad du’ali yang mendapat petunjuk dari Ali
r.a selanjutnya baru diteruskan oleh murid-muridnya, dan tidak adanya karya
dalam generasi ini.[13]
Generasi ke2 diisi oleh Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi, Maimun Al-Aqran, Anbasah Al-Fil, dan Nashr bin
Ashim Al-Laitsi. Ibnu Ya’mur termasuk dari golongan Bani Laits. Ibnu Ya’mur termasuk orang yang belajar
dari Abul Aswad mengenai memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.
Selanjutnya, Maimun Al-Aqran,
beliau Belajar Nahwu dari Abul Aswad.
Abu Ubaidah berkata:”Orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu
adalah Abul Aswad Ad-Duali, kemudian Maimun al-Aqran, kemudian Anbasah al-Fail,
dan Abdullah bin Abi Ishaq”. Berikutnya Anbasah Al-Fil. Orangtuanya
(Mu’dan) adalah dari Misan, kemudian berpindah ke Bashrah dan bermukim di sana.
Dan yang terakhir Nashr bin Ashim Al-Laitsi.
Dalam hal keturunan ia bertemu dengan Abul Aswad
Ad-Duali dari Bakr bin Abdi Mannah. Ia seorang yang faqih dan berpengetahuan di
bidang bahasa Arab, Ia juga termasuk ahli Qira yang fasih, dalam hal al-Qur’an
dan nahwu ia menyandarkan pada Abul Aswad. Nashr belajar Nahwu juga dari Yahya
bin Ya’mur. Dari sekian tokoh yang ada, hanya
Nashr yang memiliki karya tulis, yaitu kitab Tarikh al Ulama’ an Nahwiyyin pada
tahun 410 H.[14] Karakteristik periode ini adalah para tokoh tergabung dalam profesi Ahli
Qira dan Ahli Hadits, memiliki perhatia pada realitas lahn dalam kalam Arab dan
al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf
al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya, ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf
dengan titik i‘rab, dan terdapat tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu.
Berikutnya adalah generasi ke3 dimana tokoh yang menjadi pionir dalam masa ini adalah
Abdullah bin Abu Ishak, Abu Umar bin Ula, dan Isa bin Amr ats Tsaqfi. Mengenai
Abdullah bin Ishak, Hatim meriwayatkan dari Dawud bin
Zibriqah dari Qatadah bin Da’amah ad-Daus, ia berkata:”Orang pertama yang
menyusun nahwu setelah Abul Aswad adalah Yahya bin Ya’mur, dan belajar darinya
Abdullah bin Abu Ishak. Sedangkan berbicara Abu Umar bin
Ula maka Al-Riyasy meriwayatkan dari
al-Ashma‘i, ia berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar:”Siapa namamu?” Ia
menjawab:”Nama saya Abu Umar”. Abu Ubaidah berkata:”Abu Umar adalah manusia
yang paling tahu di bidang sastra, bahasa Arab, al-Qur’an dan puisi”.
Al-A‘shami berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar seribu pertanyaan, maka dia pun
memberi jawaban dengan seribu hujjah”. Ia meninggal di Kufah pada tahun 154 H,
ada pula yang mengatakan 159 H. adapun Isa binAmr
ats-Tsaqfi, ia belajar nahwu
dari Abdullah bin Ishak dan Abu Umar al-Ula. Kemudian, Al-Khalil bin Ahmad,
Yunus bin Habib dan Sibawaih.belajar darinya. Karakteristik
periode ini adalah diimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas
pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab,dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil
terhadap hal yang menyalahi kaidah, dimulai munculnya berbagai pendapat seperti
terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan
antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr, munculnya pendapat nahwu yang bersifat
individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda dari ulama Jumhur, tidak
terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali yang karya dari Isa ibn Amr yaitu
kitab al-Jami’ dan al Ikmal.[15]
Beranjak ke generasi ke4.
Generasi ini diisi oleh Al-Akhfa al-Akbar, Al-Khalil bin
Ahmad, dan Yunus bin Habib. Al-Akhfa berpendapat (طاءر
الخفوف ) yang diriwayatkan oleh Ibn Duraid: tidak ada
salah-seorang dari sahabat kita yang menyebutkan kata tersebut.
Sedangkan Imam khalil belajar ilmu nahwu
kepada Abu Amr dan Isa bin Umar. Pada masanya, tidak ada orang yang mampu
menandingi kemampuannya dalam ilmu lughoh. Beliau juga perintis ilmu arud dan
ditangan beliau teori nahwu dibuat detail, unsur-unsur nahwu diperkaya,
hujah-hujah dalam ilmu nahwu diperjelas secara maksimal. Salah satu muridnya
nanti adalam imam Sibawaeh. Karya-karya
al-Khalil diantaranya adalah KitabMa ‘anil-Huruf, Kitab an-Naqth wat-Tasykil, Kitab al-Jamal, Kitab asy-Syawahid, Kitab al-‘Ain, Kitab al-Arudh, dan Kitab al-Farsy wal-Mitsal. Dan yang terakhir adalah Yunus bin Habib dimana salah satu
pendapatnya berkaitan dengan Nahwu bahwa tashgir untuk kata قبائل adalahقبيّل, sementara Khalil dan Sibawaih
berpendapat قبيئل .[16]
Generasi berikutnya yaitu
generasi yang ke5. Pada masa ini tokoh yang terkenal
ialah Sibawaih, dan al Yazidi. Sibawaih memiliki sebuah karya
yang monumental, yaitu kitab Sibawaih, tak seorang pun
yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Dalam menyusun
kitab ini, Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki Khalil.
Kitab Sibawaih banyak mendapat pujian karena kelengkapannya. Di Basrah, kitab
ini adalah kitab pokok ilmu tatabahasa Arab. Akan tetapi, banyak juga orang
yang tidak percaya bahwa kitab ini adalah karya Sibawaih sendiri. Mereka
mengira Sibawaih mengerjakan kitab ini bersama-sama orang lain. Kitab Sibawaih
telah mengalami enam kali cetak. Cetakan pertama di Paris pada tahun 1881,
disambung dengan cetakan kedua di Calcutta tahun 1887, cetakan ketiga di Jerman
tahun 1895, cetakan keempat di Kairo tahun 1898, cetakan kelima di Baghdad, dan
cetakan keenam di Kairo tahun 1966. Selanjutnya Al-Yazidy. Nama al-Yazidy didapatkannya karena dia pertama kali mengajar
anak-anak Yazid bin Manshur bin ‘Abdullah bin Yazid al-Hamiry yang juga paman
al-Mahdy. Nama al-Yazidy ini kemudian diberikan kepada
keturunannya. Al-Yazidy tinggal di Basrah. Dia belajar ilmu qira’ah kepada ‘Amr
bin al-‘Ala dan nachw serta ‘arudh kepada Khalil bin Ahmad. Kemudian dia
menggantikan ‘Amr mengajar sambil berguru kepada ‘Abdullah bin Ishaq dan Yunus
bin Habib. Beberapa kitab yang disusun oleh al-Yazidy di antaranya adalah: an-Nawadir
fil-Lughah, al-Maqshur wal-Mamdud, Mukhtashar fin-Nachw, an-Naqth wat-Tasykil. Dia meninggal pada tahun 202 H di Khurasan.
Sibawaih dan al-Yazidy adalah dua
ulama yang berperan pada periode kelima. Pada masa ini, ilmu tatabahasa
Arab memiliki beberapa kelebihan dibandingkan periode-periode sebelumnya, yaitu penyempurnaan konsep ilmu tatabahasa Arab, kitab-kitab yang disusun, dan adanya
diskusi-diskusi.
Generasi keenam.
Generasi ini diisi oleh Al-Akhfasy al-Awsath, dan Qathrab. Al-Akhfasy
Sebenarnya, al-Akhfasy adalah penggagas utama mazhab Kufah. Al-Kisa’iy (penggagas madzhab Kuffah) secara khusus menempatkan
al-Akhfasy di sampingnya dengan segala kemuliaan. Al-Akhfasy
adalah teman dekat Sibawaih ketika dia terusir dari Baghdad karena kalah
berdebat dengan al-Kisa’iy. Al-Akhfasy adalah sumber utama konsep tatabahasa
Arab yang disusun Sibawaih karena tidak ada satu konsep pun dari tatabahasa
Sibawaih yang tidak dibaca al-Akhfasy. Al-Kisa’iy sendiri secara rahasia
meminta al-Akhfasy untuk membacakan kitab Sibawaih dan memberikan hadiah lima
puluh dinar.Para ulama mengakuinya karena
banyak sekali kitab yang dia susun, yaitu al-Awsath, al-Maqayis,
al-Isytiqaq, al-Masa’il, Waqf at-Tamam, al-Ashwat, Tafsir Ma‘ani
al-Qur’anil-Karim, al-Arba‘ah, al-‘Arudh, al-Qawafi, Ma‘anisy-Syi‘r, al-Muluk,
dan al-Ghanam: Alwanuha wa ‘Ilajuha. Adapun Qathrab, seorang yang lahir dan besar
di Basrah, kemudian belajar tatabahasa kepada ‘Isa bin ‘Umar, Yunus bin Habib,
dan Sibawaih. Karya-karya beliau adalah Ma‘ani al-Qur’an, I‘rab al-Qur’an, ar-Radd ‘ala al-Mulchidin fi Mutasyabih
al-Qur’an, Gharibil-Atsar, al-‘Ilal fin-Nachw, al-Mutsallats fin-Nachw,
al-Adhdad, al-Hamz, Fi‘l wa Af‘al, al-Qawafi, ash-Shifat, al-Ashwat,
an-Nawadir, al-Azminah, al-Farq, Chalaqul-Insan, dan Khuluqul-Furs.
GENERASI KETUJUH. Generasi ini di gawangi oleh Al-Jurmy, At-tauzy, dan Al-maziny. Al-Jurmy lahir
dan besar di Basrah kemudian belajar tatabahasa kepada al-Akhfasy al-Awsath dan
Yunus bin Habib. Dia juga belajar ilmu bahasa dari Abu ‘Ubaidah, Abu Zaid
al-Anshary, Ushmu‘i, dan ulama-ulama lain yang semasa. Kemudian al-Jurmy pergi
ke Baghdad dan mengalahkan al-Farra’ dalam sebuah debat. Beberapa kitab yang
telah disusun di antaranya: al-Farh, at-Tatsniyah wal-Jam‘, Tafsir Gharib
Sibawaih, Mukhtashar Nahwil-Muta‘allimin, al-Abniyah, at-Tashrif, al-Arudh,
al-Qawafi, dan as-Siyar. Al-Jurmy wafat pada tahun 225 H.
kemudian At-Tauzy adalah salah
seorang pegawai khalifah al-Watsiq dan dia menikah dengan ibu seorang ahli
tatabahasa bernama Abu Dzakwan al-Qasim bin Isma‘il. At-Tauzy menyusun beberapa
kitab, di antaranya: al-Amtsal, al-Adhdad, an-Nawadir, Fa‘altu wa Af‘altu, dan
al-Khail. Banyak perbedaan pendapat mengenai tahun waftnya at-Tauzy, yaitu
tahun 230 H, 233 H, dan 238 H.
Sedangkan Al-Maziny Dia adalah
hamba Bani Sadus yang dihadiahkan kepada Bani Mazin. Al-Maziny adalah ahli
tatabahasa dan qira’ah. Banyak kitab
yang telah disusun oleh al-Maziny, di antaranya: ‘Ulumul-Qur’an,
‘Ilalin-Nachw, Tafasir Kitab Sibawaih, Lachnul-‘Ammah, al-‘Alif wal-Lam,
al-‘Arudh, al-Qawafy, dan ad-Dibaj.
Dan yang terakhir ialah generasi
kedelapan yang diisioleh Al-Mubarrad
dengan kitabnya Nasab ‘Adnan wa Qachthan, I‘rabul-Qur‘an, al-Ittifaq
wal-Ikhtilaf minal-Qur‘anil-Majid, al-Fadhil, al-Kamil, al-Muqtadhab,
al-Isytiqaq, at-Tashrif, al-Madkhal li-Sibawaih, Syarch Syawahidul-Kitab, Ma‘na
Kitab lil-Akhfasy, ar-Radd ‘ala Sibawaih, Dharuratusy-Syi‘r, al-Maqshur
wal-Mamdud, dan al-Qawafy.[17]
E. Ushulin Nahwi
Secara
umum ushulin nahwi di madzhab Basroh belum terbentuk. Khususnya di masa-masa
awal. Akan tetapi jika kita cermati maka dengan munculnya madzhab Basrah ini
maka Ilmu Arrabiyah berubah menjadi lebih rasional, hal itu bisa kita lihat
dengan bagaimana ad du’ali mencari rumusan-rumusan analogis(qiyyasi) yang ada
didalam contoh kalam Arab yang pada umumnya diperoleh secara sima’i.[18]
Dalam perkembangannya, ushuli nahwi di kalangan madzhab Basrohpun berkembang
dengan munculnya beberapa metode baru yaitu qiyas, sima‘, ta‘lil, ‘awamil, dan ma‘lumat.[19]
F. Kesimpulan
1. madzhab Basrah adalah
semua nalar ilmu yang berkiblat kepada teori-teori yang dibangun oleh para tokoh
yang menimba ilmu di kota Bashroh dimana ilmu nahwu pertama kali muncul.
2. Sebagaiman metode yang
dipakai pada pengkajian ilmu kebahsa Araban yang berupa sima’, maka sumber yang
dipakai madzhab Bashrah ialah ucapan para penutus asli orang arab. Hal ini
biasa dilihat dengan bagaimana mereka sering mengunjungi suku-suku tertentu
guna menyusun teori nahwu. Disampin itu alqur’an, hadis, dan syi’ir yang jelas
kepemilikannya juga di jadikan sumber berpijak.
3. Tokoh didalam madzhab ini
ada banyak, salah satunya ialah Abu Aswad ad duali yang sekaligus tokoh pertama
sekaligus pencetus ilmu nahwu. Banyakmya tokoh tersebut bisa kita petakan
menjadi 8 periode. Karya dari tokoh-tokoh itu muncul mulai periode kedua dimana
sebelumnya tidak ada karya yang terbit.
4. Ushulin nahwi dalam
madzhab Basrah juga muncul sevara bertahap, sama halnya teori yang ditemukan
oleh kalangan Bashrah. Ushulin nahwi tersebut ialah qiyas, sima‘, ta‘lil, ‘awamil,
dan ma‘lumat.
Daftar Pustaka
Abdullah Muzakki, Pengantar
Studi Nahwu. 2015, Jogjakarta: Idea Press.
Mushtofa Abdul Aziz, Madzahibu
an Nahwiyah, Jedah: Faisholiyah
https://en.wikipedia.org/wiki/Basra di unduh pada tanggal 04/12/’15 pukul 09:00 WIB.
[10] http://syekhmakruf.blogspot.co.id/2011/01/nahwu-mazhab-basrah.html,
diunduh pada 05/11/’15, pukul 01:00 WIB
[13] http://syekhmakruf.blogspot.co.id/2011/01/nahwu-mazhab-basrah.html,
diunduh pada 05/11/’15, pukul 01:00 WIB
[16] http://syekhmakruf.blogspot.co.id/2011/01/nahwu-mazhab-basrah.html,
diunduh pada 05/11/’15, pukul 01:00 WIB
[17] http://syekhmakruf.blogspot.co.id/2011/01/nahwu-mazhab-basrah.html,
diunduh pada 05/11/’15, pukul 01:00 WIB
[19] http://syekhmakruf.blogspot.co.id/2011/01/nahwu-mazhab-basrah.html,
diunduh pada 05/11/’15, pukul 01:00 WIB
0 Response to "MAKALAH ILMU NAHWU MADZHAB BASHRAH"
Post a Comment