MAKALAH ILMU NAHWU MADZHAB BASHRAH





Madzhab Basrah[1]
Abstract
Berbicara tentang linguistik Arab, tak bisa dipisahkan dengan ilmu Nahwu, Karena dalam ilmu tata bahasa Arab, ilmu inilah yang pertama kali mencapai kematangan dari segi epistemologi. dalam sejarah ilmu nahwu, terdapat beberapa madzhab nahwu, yaitu madzhab Bashrah, Kufah, Baghdad, Andalusia dan Mesir. Namun di sini, hanya akan disajikan madzhab saja, Bashrah.  mengingat pengaruh dan kontribusi dari madzhab tersebut dalam bidang nahwu begitu besar.


A.     Pemdahuluan
Menjadi suatu hal yang maklum bahwa di dalam dunia keilmuan terdapat banyak argumentasi dan dengan banyaknya argumentasi itu maka bisa kita golongkan menjadi sebuah argumentasi yang senada (saling mendukung dan memperkuat) dan adapula argumentasi yang mengkritik argumen yang lainnya.
Implikasi dari fenomena diatas adalah munculnya berbagai madzhab dalam satu kajian keilmuan dan hal tersebut juga menimpa ilmu kebahsaan khususnya bahasa Arab. Di dalam ilmu kebahasa Araban kita akan menemukan madzhab Bashroh, Kuffah, Baghdad, Andulusia, dsb. Semua madzhab tersebut memiliki temuan yang berbeda dan sama-sama memilki argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan.
Sebagai mahasiswa pendidikan bahasa Arab, mengetahui semua madzhab tersebut menjadi sebuah hal yang urgen, karena kita bisa mengetahui alur pemikiran dari masing-masing madzhab sehingga hal tersebut bisa memperkaya wawasan kita mengenai kebahasa Araban.
Pada kesempatan kali ini kami akan mengupas secara mendetail terkait denganmadzhab Basrah mulai dari asal-usul beserta ruang lingkup, tokoh yang berperan, sumber keilmuannya, dan yang terakhir berhubung pada kajian ini kita lebih spesifik pada ilmu nahwu maka kita juga akan bahas bagaiman ushulin nahwinya.
B.     Pengertian Madzhab Basrah
Basra atau Basrah (البصرة al-Bara) secara bahasa diartikan sebagai tanah padas. Nama ini di ambil dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural.[2]
Kota Basrah adalah kota terbesar kedua di Irak, terletak sekitar 545 km dari Bagdad.[3] Kota ini di dirikan pada tahun 15 hijriah oleh Atabah bin Ghoswan atas perintah kholifah Umar bin Khattab.[4]
Kota basrah adalah pencetus ilmu nahwu, disana ilmu nahwu tumbuh dan berkembang di tangan para ulama basrah, terciptanya kondisi Basrah seperti ini tidak lepas dari beberapa hal, diantaranya:
1.      Letak Geografis
Di dekat kota Basrah terdapat sungai Tigris dan Euphrates yang mengalir dan bermuara di laut. Kondisi strategis seperti ini tentunya akan berpengaruh kuat terhadap personalitas penduduk dan membuat mereka terkenal juga kematangan berpikir.
Letak kota Basrah yang berada di pinggir pedalaman, membuat mereka fasih dalam berbahasa dan masih murni, terbebas dari cacat lahn dan kata-kata asing. Basrah juga terkenal sebaga pelabuhan perdagangan bagi Irak di teluk Arab, maka di kota inilah pijakan awal unsur-unsur asing datang dan kemudian brimbas di bidang perdagangan dn kemajuan investasi. di kota ini terdapat aliran Ayi’ah dan Mu’tazilah yang telah membuka lebar pengambilan keilmuan Yunani. Ini sangat berpengaruh dalam mazhab ilmu kalam mereka dan juga berimbas pula pada ilmu nahwu dalam hal taqsim, ta’lil, ta’wil dan qiyas.
2.      Stabilitas Sosial
Basrah adalah kota yang aman stabil serta terlepas dari instabilitas politik dan pertentangan madzhab. Kondisi seperti ini telah menghantarkan Basrah menjadi kota yang berperadaban, disibukkan dengan berbagai aktifitas keilmuan, dan memanfaatkan keanekaragaman budaya. Kehidupan yang stabil ini juga menuntut kehidupan intelektualitas yang tertib.
3.      Pasar mirbad
Pasar ini adalah pasar yang terkenal yang terletak di pintu barat kota Basrah. Awal mula di dirikan pasar ini karena orang-orang yang arab yang datang di Basrah dari tengah jazirah Arab menemukan tempat yang nyaman untuk menunda perjalanan dan menambatkan unta mereka. Mereka kemudian menjadi penduduk kota Basrah. Mereka menanti di tempat tersebut untuk berdagang dan bertukar hal yang bermanfaat. Dan disana tercipta aktifitas perdagangan dimana para empunya adalah para penyair dan sastra, sehingga hiduplah nuansa sastra kemudian mereka bersaing di pasar tersebut dalam keindahan.
4.      Masjid Basrah
Terdapat berbagai macam majelis di dalam masjid yang biasanya dibuat untuk mengkaji sebuah ilmu, diantaranya majlis kajian tafsir, ilmu kalam, bahasa, dan lain-lain. Diantara majelis tersebut adalah: Majlis Himad bin Sulmah. Sibawaih ikut bergabung dalam majelis ini, majelis Musa bin Siyar al-Aswari. Menurut Yazidz, dia adalah Seorang yang ahli dalam bahasa persia dan bahasa Arab. Dalam kajiannya yang di hadiri orang Arab dan orang Persi, dia membacakan al-Qur’an dan menafsirkannya dengan orang Arab dengan bahasa Arab kemudian berpaling ke orang-orang Persi dan menafsirkannya dengan bahasa Persia, majelis Abu Umar bin al-Ila. Kajian ini mengajarkan qiro’ah, bahasa dan Nahwu, majelis Khalil bin Ahmad al-Farahidi, majelis ini menjadi salah satu majelis yang terkenal. Para murid dai majelis ini kemudian menjadi pakar bahasa dan nahwu, diantaranya Sibawaih, an-Nadhar bin Syamil, Ali bin Hamzah al-Kisai, Abi Muhammad al-Yazidi, al-Ashmai dan yang lainnya, dan majelis Yunus bin Habib, halaqah ini dimulai pada masa Khalil dan mencapai kesempurnaan setelah wafatnya. Diantara para pemimpin kajiannya adalah Abu Ubaidah, al-Ashmai, Abu Zaid al-Anshari, Qathrab, Sibawaih, Abu Umar al-Jurmi. Al-Kisai, al-Farra’, Khalf Ahmar dan Ibnu Salam al-Jur’i.[5]
Catatan terakhirnya adalah madzhab Basrah adalah semua nalar ilmu yang berkiblat kepada teori-teori yang dibangun oleh para tokoh yang menimba ilmu di kota Bashroh dimana ilmu nahwu pertama kali muncul.
C.     Sumber ilmu bahasa madzhab Basrah
Sumber yang umum yang digunakan oleh para ulama dalam menyusun teori-teori nahwu ialah Al-qur’an dan juga hadist. Kedua sumber ini pula yang digunakan oleh madhab bashroh sebagai sumber utama. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya argumen yang dilontarkan oleh para tokoh guna menguatkan teori yang mereka susun.
Penggunaan Al-qur’an dan hadist diatas juga diperkuat dengan bagaimana para tokoh yang terhimpun didalam madzhab Basroh itu pawai atau ahli didalam ilmu qiroah dan tak sedikit pula dari mereka merupakan rijalul hadist. Hal ini tentu sangat penting dan membantu mereka dalam menyusun teori nahwu, karena tanpa ia membuka Al-qur’an atau al hadis mereka bisa mereka-reka dan mencari dalil yang tepat untuk sebuah teori dengan apa yang mereka hafal.
Selain itu, ulama’ Basrah memiliki tradisi mengunjungi qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalaman-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya[6]. Terkadang pula mereka mendatangi orang pedalaman tersebut kemudian membawanya ke kota dan tinggal di kota untuk tujuan berniaga di pasar al-Mirbad.
Dengan begitu, interaksi kaum pedalaman Arab (Arab badwi) dengan ulama Bashrah tidak hanya terjadi di kampung-kampung Baduwi, tetapi juga di pasar al-Mirbad. para ulama Basrah ahli di bidang manthiq (logika). Sehingga mereka dapat membuat teori-teori/kaidah-kaidah untuk mempermudah dalam mempelajari Nahwu.
Di antara qabilah yang paling sering mereka kunjungi para ulama’ adalah Tamim dan Qais. Karena kedua qabilah itu belum bercampur dengan masyarakat di luar Arab (‘ajam). Kondisi ini sangat memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kefashihan bahasa penduduk Bashrah dan keterjagaan bahasa mereka.
Ulama’ yang sering melakukan perjalanan ke pedalaman, melakukan survey bahasa dan mengumpulkannya adalah Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib, Nadhar bin Syamil, dan Abu Zaid al-Anshari. [7]
Dari penjelasan diatasa dapat ditarik kesimpulan bahwa selain Al-qur’an dan al hadis, ulama Bashroh juga menjadikan bahasa orang Arab sebagai sumber dalam penyusunan teori nahwu. Bahasa orang Arab tadi nantinya terhimpun dalam beberapa syi’iran dan maqol yang nantinya para tokoh Basroh akan menyebutkan darimana ia mengutip syi’iran atau singkat kata pemilik dari syi’ir tersebut dan sumber maqol itu sendiri. Bahkan begitu telitinya ulama basroh didalam menjamin validitas syi’ir tersebut maka terkadang ia mencantumkan perawi atau sanad hingga orang pemilik syi’ir tersebut.[8]
Dalam perkembangannya syarat menjadikan syi’ir dengan mencantumkan pemiliknya dalam madzhab Basroh tidak selamanya dipakai, hal itu terlihat bagaimana imam Sibawaih menggunakan syi’ir tanpa mengetahui pemiliknya, akan tetapi yang dicantumkan Syibawaih itu hanyalah segelintir syi’ir, berbeda dengan madzhab lain yang bebas menggunakan syi’ir tanpa pemilik.[9]
D.    Tokoh dan karya ulama Basroh
Sebagai madzhab yang paling awal, maka umur madzhab Basroh sendiri sudah semestinya sangat tua dibandingkan dengan madzhab yang lainnya sehingga tokoh yang dilahirkan leh madzhab inipun terbilang sangat banyak. Didalam bukunya, Abdullah Muzzaki menyebutkan setidaknya ada 33 tokoh. Namun dalam kesempatan kali ini kami akan memaparkan dengan pembagian secara periodik.
Dari awal kemunculannya dan perkembangannya, madzhab Basroh bisa kita petakan menjadi 8 generasi.[10] Generasi pertama dipelopori oleh Abu Aswad Ad du’ali dan Abdurrahman bin Hurmuz. Ad du’ali sendiri lahir pada masa jahiliyah, tepatnya tahun ke3 sebelum nabi Muhammad diangkat sebagai Rasulullah. Beliau dijuluki sebagai bapak ilmu nahwu karena beliaulah yang menjadi perintisnya sekaligus mengajarkan kepada masyarakat. Selain belajar ilmu qiroah beliau banyak belajar ilmu nahwu kepada sayyidina Ali r.a. Di kota Basrah beliau juga diangkat sebagai qodli. Tidak ada satu karyapun yang dinisbatkan terhadap beliau, akan tetapi, ada sejumlah tema nahwu yang dibahas oleh beliau, yaitu bab inna wa akhwatuha, bab ta’ajub, bab fa’il dan maf’ul bih, bab mudlof, bab alamat i’rab.[11] Sedangkan abduraahman ialah orang yang rasionalis dimana ia banyak menghabiskan waktunya di Madinah dan mengajarkan ilmu nahwu disana. Beliau wafat pada tahun 117 H di Mesir karena sebelum wafat beliau memutuskan pindah ke Mesir disebabkan orang-orang Madinah tidak menyukai Rasionalitasnya. Sama halnya dengan ad du’ali, tidak ada karya yang dinisbatkan terhadap beliau.[12] Karakteristik periode ini ialah para ulama Bashrah mayoritas adalah seorang qori’, memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam Arab dan Al qur’an, awal penyusunan teori nahwu diawali ad du’ali yang mendapat petunjuk dari Ali r.a selanjutnya baru diteruskan oleh murid-muridnya, dan tidak adanya karya dalam generasi ini.[13]
Generasi ke2 diisi oleh Yahya bin Ya’mur Al-Udwan Al-Laitsi, Maimun Al-Aqran, Anbasah Al-Fil, dan Nashr bin Ashim Al-Laitsi. Ibnu Ya’mur termasuk dari golongan Bani Laits. Ibnu Ya’mur termasuk orang yang belajar dari Abul Aswad mengenai memberi titik mushaf dengan titik i‘rab. Selanjutnya, Maimun Al-Aqran, beliau Belajar Nahwu dari Abul Aswad. Abu Ubaidah berkata:”Orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu adalah Abul Aswad Ad-Duali, kemudian Maimun al-Aqran, kemudian Anbasah al-Fail, dan Abdullah bin Abi Ishaq”. Berikutnya Anbasah Al-Fil. Orangtuanya (Mu’dan) adalah dari Misan, kemudian berpindah ke Bashrah dan bermukim di sana. Dan yang terakhir Nashr bin Ashim Al-Laitsi.
Dalam hal keturunan ia bertemu dengan Abul Aswad Ad-Duali dari Bakr bin Abdi Mannah. Ia seorang yang faqih dan berpengetahuan di bidang bahasa Arab, Ia juga termasuk ahli Qira yang fasih, dalam hal al-Qur’an dan nahwu ia menyandarkan pada Abul Aswad. Nashr belajar Nahwu juga dari Yahya bin Ya’mur. Dari sekian tokoh yang ada, hanya Nashr yang memiliki karya tulis, yaitu kitab Tarikh al Ulama’ an Nahwiyyin pada tahun 410 H.[14] Karakteristik periode ini adalah para tokoh tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli Hadits, memiliki perhatia pada realitas lahn dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya, ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf dengan titik i‘rab, dan terdapat tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu.
Berikutnya adalah generasi ke3 dimana tokoh yang menjadi pionir dalam masa ini adalah Abdullah bin Abu Ishak, Abu Umar bin Ula, dan Isa bin Amr ats Tsaqfi. Mengenai Abdullah bin Ishak, Hatim meriwayatkan dari Dawud bin Zibriqah dari Qatadah bin Da’amah ad-Daus, ia berkata:”Orang pertama yang menyusun nahwu setelah Abul Aswad adalah Yahya bin Ya’mur, dan belajar darinya Abdullah bin Abu Ishak. Sedangkan berbicara Abu Umar bin Ula maka Al-Riyasy meriwayatkan dari al-Ashma‘i, ia berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar:”Siapa namamu?” Ia menjawab:”Nama saya Abu Umar”. Abu Ubaidah berkata:”Abu Umar adalah manusia yang paling tahu di bidang sastra, bahasa Arab, al-Qur’an dan puisi”. Al-A‘shami berkata:”Saya bertanya pada Abu Umar seribu pertanyaan, maka dia pun memberi jawaban dengan seribu hujjah”. Ia meninggal di Kufah pada tahun 154 H, ada pula yang mengatakan 159 H. adapun Isa binAmr ats-Tsaqfi, ia belajar nahwu dari Abdullah bin Ishak dan Abu Umar al-Ula. Kemudian, Al-Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib dan Sibawaih.belajar darinya. Karakteristik periode ini adalah diimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab,dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah, dimulai munculnya berbagai pendapat seperti terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr, munculnya pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda dari ulama Jumhur, tidak terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali yang karya dari Isa ibn Amr yaitu kitab al-Jami’ dan al Ikmal.[15]
Beranjak ke generasi ke4. Generasi ini diisi oleh Al-Akhfa al-Akbar, Al-Khalil bin Ahmad, dan Yunus bin Habib. Al-Akhfa berpendapat (طاءر الخفوف ) yang diriwayatkan oleh Ibn Duraid: tidak ada salah-seorang dari sahabat kita yang menyebutkan kata tersebut. Sedangkan Imam khalil belajar ilmu nahwu kepada Abu Amr dan Isa bin Umar. Pada masanya, tidak ada orang yang mampu menandingi kemampuannya dalam ilmu lughoh. Beliau juga perintis ilmu arud dan ditangan beliau teori nahwu dibuat detail, unsur-unsur nahwu diperkaya, hujah-hujah dalam ilmu nahwu diperjelas secara maksimal. Salah satu muridnya nanti adalam imam Sibawaeh. Karya-karya al-Khalil diantaranya adalah KitabMa ‘anil-Huruf, Kitab an-Naqth wat-Tasykil, Kitab al-Jamal, Kitab asy-Syawahid, Kitab al-‘Ain, Kitab al-Arudh, dan Kitab al-Farsy wal-Mitsal. Dan yang terakhir adalah Yunus bin Habib dimana salah satu pendapatnya berkaitan dengan Nahwu bahwa tashgir untuk kata قبائل adalahقبيّل, sementara Khalil dan Sibawaih berpendapat قبيئل .[16]
Generasi berikutnya yaitu generasi yang ke5. Pada masa ini tokoh yang terkenal ialah Sibawaih, dan al Yazidi. Sibawaih memiliki sebuah karya yang monumental, yaitu kitab Sibawaih, tak seorang pun yang tahu kapan penyusunan kitab tersebut. Dalam menyusun kitab ini, Sibawaih banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dimiliki Khalil. Kitab Sibawaih banyak mendapat pujian karena kelengkapannya. Di Basrah, kitab ini adalah kitab pokok ilmu tatabahasa Arab. Akan tetapi, banyak juga orang yang tidak percaya bahwa kitab ini adalah karya Sibawaih sendiri. Mereka mengira Sibawaih mengerjakan kitab ini bersama-sama orang lain. Kitab Sibawaih telah mengalami enam kali cetak. Cetakan pertama di Paris pada tahun 1881, disambung dengan cetakan kedua di Calcutta tahun 1887, cetakan ketiga di Jerman tahun 1895, cetakan keempat di Kairo tahun 1898, cetakan kelima di Baghdad, dan cetakan keenam di Kairo tahun 1966. Selanjutnya Al-Yazidy. Nama al-Yazidy didapatkannya karena dia pertama kali mengajar anak-anak Yazid bin Manshur bin ‘Abdullah bin Yazid al-Hamiry yang juga paman al-Mahdy. Nama al-Yazidy ini kemudian diberikan kepada keturunannya. Al-Yazidy tinggal di Basrah. Dia belajar ilmu qira’ah kepada ‘Amr bin al-‘Ala dan nachw serta ‘arudh kepada Khalil bin Ahmad. Kemudian dia menggantikan ‘Amr mengajar sambil berguru kepada ‘Abdullah bin Ishaq dan Yunus bin Habib. Beberapa kitab yang disusun oleh al-Yazidy di antaranya adalah: an-Nawadir fil-Lughah, al-Maqshur wal-Mamdud, Mukhtashar fin-Nachw, an-Naqth wat-Tasykil. Dia meninggal pada tahun 202 H di Khurasan.
Sibawaih dan al-Yazidy adalah dua ulama yang berperan pada periode kelima. Pada masa ini, ilmu tatabahasa Arab memiliki beberapa kelebihan dibandingkan periode-periode sebelumnya, yaitu penyempurnaan konsep ilmu tatabahasa Arab, kitab-kitab yang disusun, dan adanya diskusi-diskusi.
Generasi keenam. Generasi ini diisi oleh Al-Akhfasy al-Awsath, dan Qathrab. Al-Akhfasy Sebenarnya, al-Akhfasy adalah penggagas utama mazhab Kufah. Al-Kisa’iy (penggagas madzhab Kuffah) secara khusus menempatkan al-Akhfasy di sampingnya dengan segala kemuliaan. Al-Akhfasy adalah teman dekat Sibawaih ketika dia terusir dari Baghdad karena kalah berdebat dengan al-Kisa’iy. Al-Akhfasy adalah sumber utama konsep tatabahasa Arab yang disusun Sibawaih karena tidak ada satu konsep pun dari tatabahasa Sibawaih yang tidak dibaca al-Akhfasy. Al-Kisa’iy sendiri secara rahasia meminta al-Akhfasy untuk membacakan kitab Sibawaih dan memberikan hadiah lima puluh dinar.Para ulama mengakuinya karena banyak sekali kitab yang dia susun, yaitu al-Awsath, al-Maqayis, al-Isytiqaq, al-Masa’il, Waqf at-Tamam, al-Ashwat, Tafsir Ma‘ani al-Qur’anil-Karim, al-Arba‘ah, al-‘Arudh, al-Qawafi, Ma‘anisy-Syi‘r, al-Muluk, dan al-Ghanam: Alwanuha wa ‘Ilajuha. Adapun Qathrab, seorang yang lahir dan besar di Basrah, kemudian belajar tatabahasa kepada ‘Isa bin ‘Umar, Yunus bin Habib, dan Sibawaih. Karya-karya beliau adalah Ma‘ani al-Qur’an, I‘rab al-Qur’an, ar-Radd ‘ala al-Mulchidin fi Mutasyabih al-Qur’an, Gharibil-Atsar, al-‘Ilal fin-Nachw, al-Mutsallats fin-Nachw, al-Adhdad, al-Hamz, Fi‘l wa Af‘al, al-Qawafi, ash-Shifat, al-Ashwat, an-Nawadir, al-Azminah, al-Farq, Chalaqul-Insan, dan Khuluqul-Furs.
GENERASI KETUJUH. Generasi ini di gawangi oleh Al-Jurmy, At-tauzy, dan Al-maziny. Al-Jurmy lahir dan besar di Basrah kemudian belajar tatabahasa kepada al-Akhfasy al-Awsath dan Yunus bin Habib. Dia juga belajar ilmu bahasa dari Abu ‘Ubaidah, Abu Zaid al-Anshary, Ushmu‘i, dan ulama-ulama lain yang semasa. Kemudian al-Jurmy pergi ke Baghdad dan mengalahkan al-Farra’ dalam sebuah debat. Beberapa kitab yang telah disusun di antaranya: al-Farh, at-Tatsniyah wal-Jam‘, Tafsir Gharib Sibawaih, Mukhtashar Nahwil-Muta‘allimin, al-Abniyah, at-Tashrif, al-Arudh, al-Qawafi, dan as-Siyar. Al-Jurmy wafat pada tahun 225 H. kemudian At-Tauzy adalah salah seorang pegawai khalifah al-Watsiq dan dia menikah dengan ibu seorang ahli tatabahasa bernama Abu Dzakwan al-Qasim bin Isma‘il. At-Tauzy menyusun beberapa kitab, di antaranya: al-Amtsal, al-Adhdad, an-Nawadir, Fa‘altu wa Af‘altu, dan al-Khail. Banyak perbedaan pendapat mengenai tahun waftnya at-Tauzy, yaitu tahun 230 H, 233 H, dan 238 H.  Sedangkan Al-Maziny Dia adalah hamba Bani Sadus yang dihadiahkan kepada Bani Mazin. Al-Maziny adalah ahli tatabahasa dan qira’ah. Banyak kitab yang telah disusun oleh al-Maziny, di antaranya: ‘Ulumul-Qur’an, ‘Ilalin-Nachw, Tafasir Kitab Sibawaih, Lachnul-‘Ammah, al-‘Alif wal-Lam, al-‘Arudh, al-Qawafy, dan ad-Dibaj.
Dan yang terakhir ialah generasi kedelapan yang diisioleh Al-Mubarrad dengan kitabnya Nasab ‘Adnan wa Qachthan, I‘rabul-Qur‘an, al-Ittifaq wal-Ikhtilaf minal-Qur‘anil-Majid, al-Fadhil, al-Kamil, al-Muqtadhab, al-Isytiqaq, at-Tashrif, al-Madkhal li-Sibawaih, Syarch Syawahidul-Kitab, Ma‘na Kitab lil-Akhfasy, ar-Radd ‘ala Sibawaih, Dharuratusy-Syi‘r, al-Maqshur wal-Mamdud, dan al-Qawafy.[17]
E.  Ushulin Nahwi
Secara umum ushulin nahwi di madzhab Basroh belum terbentuk. Khususnya di masa-masa awal. Akan tetapi jika kita cermati maka dengan munculnya madzhab Basrah ini maka Ilmu Arrabiyah berubah menjadi lebih rasional, hal itu bisa kita lihat dengan bagaimana ad du’ali mencari rumusan-rumusan analogis(qiyyasi) yang ada didalam contoh kalam Arab yang pada umumnya diperoleh secara sima’i.[18] Dalam perkembangannya, ushuli nahwi di kalangan madzhab Basrohpun berkembang dengan munculnya beberapa metode baru yaitu qiyas, sima‘, ta‘lil, ‘awamil, dan ma‘lumat.[19]

F.      Kesimpulan
1.      madzhab Basrah adalah semua nalar ilmu yang berkiblat kepada teori-teori yang dibangun oleh para tokoh yang menimba ilmu di kota Bashroh dimana ilmu nahwu pertama kali muncul.
2.      Sebagaiman metode yang dipakai pada pengkajian ilmu kebahsa Araban yang berupa sima’, maka sumber yang dipakai madzhab Bashrah ialah ucapan para penutus asli orang arab. Hal ini biasa dilihat dengan bagaimana mereka sering mengunjungi suku-suku tertentu guna menyusun teori nahwu. Disampin itu alqur’an, hadis, dan syi’ir yang jelas kepemilikannya juga di jadikan sumber berpijak.
3.      Tokoh didalam madzhab ini ada banyak, salah satunya ialah Abu Aswad ad duali yang sekaligus tokoh pertama sekaligus pencetus ilmu nahwu. Banyakmya tokoh tersebut bisa kita petakan menjadi 8 periode. Karya dari tokoh-tokoh itu muncul mulai periode kedua dimana sebelumnya tidak ada karya yang terbit.
4.      Ushulin nahwi dalam madzhab Basrah juga muncul sevara bertahap, sama halnya teori yang ditemukan oleh kalangan Bashrah. Ushulin nahwi tersebut ialah qiyas, sima‘, ta‘lil, ‘awamil, dan ma‘lumat.

Daftar Pustaka
Abdullah Muzakki, Pengantar Studi Nahwu. 2015, Jogjakarta: Idea Press.
Mushtofa Abdul Aziz, Madzahibu an Nahwiyah, Jedah: Faisholiyah
https://en.wikipedia.org/wiki/Basra di unduh pada tanggal 04/12/’15 pukul 09:00 WIB.



[1] Disampaikan untuk memenuhi tugas presentasi mata kuliah Tarikh Al-ulum Al-Arobiyah.
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Basra di unduh pada tanggal 04/12/’15 pukul 09:00 WIB.
[4] Abdullah Muzakki, Pengantar Studi Nahwu, (Jogjakarta: Idea Press, 2015 ) Hlm: 28.
[8]  Mushtofa Abdul Aziz, Madzahibu an Nahwiyah, (Jedah: Faisholiyah), hal.44
[9] Mushtofa Abdul Aziz, Madzahibu an Nahwiyah, (Jedah: Faisholiyah), hal.45
[11] Abdullah Muzakki, Pengantar Studi Nahwu, (Jogjakarta: Idea Press, 2015 ), Hal.66
[12] Abdullah Muzakki, Pengantar Studi Nahwu, (Jogjakarta: Idea Press, 2015 ), Hal. 71
[14] Abdullah Muzakki, Pengantar Studi Nahwu, (Jogjakarta: Idea Press, 2015 ), Hal. 68
[15] Abdullah Muzakki, Pengantar Studi Nahwu, (Jogjakarta: Idea Press, 2015 ), Hal. 80
[18] Abdullah Muzakki, Pengantar Studi Nahwu, (Jogjakarta: Idea Press, 2015 ), Hal. 28

0 Response to "MAKALAH ILMU NAHWU MADZHAB BASHRAH"

Post a Comment