MAKALAH KAIDAH PEMAHAMAN HADIST




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara Epistimologis, hadits dipandang oleh umat islam sebagai sumber ajaran Islam ke dua setelah Al-Qur’an. Sebab ia juga sebagai bayan (penjelas), terhadap ayat – ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global), a’am (umum) dan yang mutlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits juga dapat berfungsi sebagai muqorrir (penetap) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al - Qur’an.

Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang baik dan benar untuk mengkaji hadits, namun untuk memahami hadits secara benar relatif tidak “gampang”, khususnya jika kita menemukan hadits – hadits yang nampaknya bertentangan.[1]
Selain itu hadits juga tidak cukup hanya di baca dan dipelajari, tapi klandungan – kandungan yang terdapat dalam haditspun juga perlu diamalkan dalam kehidupan sehari – hari. Untuk mengamalkannya pun tidak boleh asal mengamalkan semua hadits yang ada tetapi diperlukan metode ataupun cara – cara tertentu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Metode yang digunakan untuk memahami hadits
2.      Ilmu-ilmu yang membantu dalam memahami hadits?
3.      Bagaimana cara mengamalkan kandungan hadits nabi ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metode yang digunakan untuk memahami hadits.
Secara garis besar dalam memahami hadis nabi, terdapat dua kelompok,yakni:
1.    Ahl al-Hadits (Tekstualis) :
Kelompok yang memahami hadits hanya dengan melihat kepada lahiriyah teks hadits tanpa memerhatikan sebab-sebab terkait di sekeliling teks tersebut.
2.    Ahl al Ra‟yi (Kontekstualis) :
Kelompok yang memahami hadits melalui pengembangan penalaran terhadap faktor-faktor yang ada di belakang teks dan memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang pada Al-qur‟an dan sunnah. Salah satu metode yang digunakan dalam memahami hadits nabi adalah metode yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi, yaitu:
a.           Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an.
Menurut Yusuf al-Qardhawi,untuk memahami hadits dengan benar, harus sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an,[2] beliau juga mengemukakan adanya hubungan yang signifikan antara hadits dan al-Qur‟an, diantaranya:
1)        Sunnah dan al-qur‟an mengeluarkan hukum yang sesuai berdasarkan dalil yang sesuai.
2)        Hadits sebagai penjelas dan tafsir al-qur‟an.
3)        Hadits menetapkan hukum yang belum ditetapkan alqur‟an.[3]
Oleh karenanya tidak mungkin suatu hadits shahih kandunganya bertentangan dengan ayat-ayat al-qur‟an yang muhkamat, yang berisi keterangan - keterangan yang jelas dan pasti, bisa jadi bertentangan disebabkan hadits tersebut yang tidak shahih, atau pemahamanya yang tidak tepat.[4]

b.      Mengumpulkan Hadits - Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat.
Salah satu kaidah dasar untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang punya pembahasan sama dalam satu tempat agar hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidak terikat) dibawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang ‘’am (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khosh (maknanya khusus).
Seperti yang diungkapkan oleh imam ahmad bahwasanya : “Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan sanad-sanadnya (jalan-jalannya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya.”[5]
Dengan cara seperti ini kita dapat memahami hadits secara optimal karena dalam metode tematis seperti ini kita dapat mengumpulkan hadits - hadits yang setema baik yang semakna maupun yang kontradiktif agar dapat dikompromikan maknanya serta tidak cukup pula kita memahami suatu permasalahan(tema) hanya dengan memahami satu hadits saja tanpa menghiraukan hadits-hadits yang lain.
c.       Memadukan Hadits-Hadits yang kontradiktif (mukhtalaful hadits)
Dalam pandangan Yusuf Qardhawi,pada dasarnya nash syari‟at tidak mungkin saling bertentangan. Pertentangan yang terjadi adalah lahiriahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki.[6] Dalam hal ini ada dua cara yang dapat digunakan :
1.      Al-Jam‟u(pengkompromian)
Hadits dapat dihilangkan pertentanganya dengan cara mengkompromikan hadits - hadits tersebut semisal saja tentang hadits yang melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Dengan mengkompromikan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut dapat diambil natijah bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). 2. Tarjih dan al-Nasikh wa al-Mansukh Menurut Yusuf Qardhawi apabila hadits-hadits yang kontradiktif tersebut tidak bisa dikompromikan, maka dapat diambil 2 cara: * Tarjih : memenangkan salah satu dari dua hadits atau lebih dengan berbagai cara pentarjihan yang telah ditentukan oleh para ulama * al-Nasikh wa al-Mansukh : mansukh (dihapus) disini menurut beliau bukan berarti penghapusan dalam arti sebenarnya,tetapi sebagai rukhshah atau karena situasi dan kondisinya yang berbeda. d. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits (memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi, dan kondisi serta tujuanya) Pengertian Asbabul Wurud sendiri adalah sebab-sebab datangnya suatu hadits, mengetahui asbabul wurud suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits,diantaranya adalah dengan meneliti sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan „illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari redaksi hadits itu atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang dipahami langsung dari kondisi atau tujuan ketika hadits tersebut diucapkan oleh Nabi Saw. 6 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah An-Nabawiyah, Al-Qâhirah: Dâr al-Syurûq,2002, hlm. 113
  1. 5. e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap Dalam memahami hadits harus selalu berpegang dan mementingkan makna subtansial atau tujuan atau sasaran hakiki teks hadits,7 karena sarana pada lahiriah (teks) hadits dapat berubah-ubah dari satu masa ke masa yang lain tetapi kita harus tetap terpaku pada tujuan hakiki dari hadits tersebut seperti hadits tentang siwak. tujuan dari hadits tersebut adalah untuk menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut,sehingga sarana yang digunakan tidak harus berupa siwak tapi dapat juga memakai sarana masa kini sepertihalnya sikat gigi. h. Membedakan antara ungkapan haqiqah dan majaz Menurut Yusuf Qardhawi, pemahaman berdasarkan majaz terkadang merupakan suatu keharusan, karena jika tidak, orang akan tergelincir kekeliruan, karena banyak hadits yang menggunakan majaz (kiasan), sebab Nabi adalah orang yang menguasai retorika atau balaghoh, Beliau menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan.8 g. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata Di dalam hadits tidak hanya berisi tentang realitas di dunia ini, tetapi banyak di antara beberapa kandungan hadits ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, terhadap hadits mengenai alam gaib ini, seorang muslim wajib menerimanya, tidak dibolehkan untuk menolaknya hanya karena menyimpang dengan kebiasaan atau tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Kita tetap harus memercayainya selama hal itu masih dalam batas kemungkinan menurut akal, walaupun mustahil menurut kebiasaan. Dalam menyikapi hadits seperti tadi Syaikh Yusuf sependapat dengan Ibn Taimiyyah, yaitu menghindari ta‟wil dan mengembalikan hal itu pada Allah. h. Memastikan makna kata-kata dalam hadits untuk dapat memahami hadits dengan sebaik-baiknya, menurut beliau penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadits. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainya, dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainya.9 Seperti pada contoh hadits bahwa tashwir (pembuatan gambar atau pembentukan rupa) merupakan hal yang dilarang dan mushawir (pembuat gambar) diancam dengan siksa yang pedih, tetapi pada saat ini kata tashwir sudah digunakan untuk suatu kegiatan pengambilan gambar dengan kamera, maka kurang tepat bila kita masukkan istilah tersebut pada hadits tadi karena masa penggunaan kata dalam masa hadits itu disampaikan dan masa sekarang sudah berbeda. 7 Suryadi, metode kontemporer memahami hadits nabi.teras:yogyakarta,2008.hlm 168 8 Ibid., hlm. 175 9 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah An-Nabawiyah, Al-Qâhirah: Dâr al-Syurûq,2002, hlm. 179
  2. 6. B. Ilmu-ilmu yang membantu dalam memahami hadits Hadits tidak bisa diaplikasikan secara langsung tanpa dukungan ilmu lain. Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa ilmu yang dapat digunakan untuk membantu dalam memahami sebuah hadits, di antaranya: a. Ilmu Asbabul Wurud Ilmu ini sangat penting untuk memahami sebuah hadits, sehingga Syekh Mahfudz at- Tirmisi menyatakan: “Memahami sebab turunnya hadits merupakan cara yang kuat untuk memahami hadits”. Di antara pentingnya ilmu asbabul wurud adalah untuk menjelaskan makna hadits, di samping itu, untuk menjelaskan aspek hikmah di balik pensyariatan suatu hukum. b. Ilmu Tawarikh al-Mutun Ilmu ini adalah ilmu yang mengkaji tentang sejarah matan hadits. Termasuk dalam konteks ilmu tawarikh al-mutun sebenarnya perlu dikembangkan teori kategori hadits-hadits makkiyah dan madaniyyah, sebab boleh jadi masing-masing redaksi akan memiliki kekhasan redaksional maupun isi kandungannya. Di samping itu, pengetahuan hadits makkiyyah dan madaniyyah juga akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syariat Islam. c. Ilmu al-Lughah Ilmu lughah dengan berbagai cabangnya jelas sangat penting, sebab teks-teks hadits itu menggunakan bahasa Arab, sementara bahasa itu memiliki unsur dan aspeks-aspeks yang sangat kompleks, sehingga jelas bahwa dalam memahami sebuah hadits harus bisa ilmu bahasa Arab secara memadai.10 d. Hermeneutika Hermeneutika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, hermenia yang disetarakan dengan exegesis, penafsiran atau hermeneuin yang berarti menafsirkan. Sedangkan, secara terminology berarti penafsiran terhadap teks tertulis yang memiliki waktu yang panjang dengan audiensinya. Hermeneutika terhadap teks hadits menuntut diperlakukannya teks hadits sebagai produk lama dapat berbicara secara komunikatif . dengan demikian dengan pendekatan ini tidak menafikan kedinamisan masyarakat serta tidak menafikan keberadaan teks-teks hadits sebagai produk masa lalu. Oleh karenanya, upaya mempertemukan horison masa lalu dan horizon masa 10 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma‟anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press: Yogyakarta, 2008, hlm. 18.
  3. 7. kini dengan dialog triadic diharapkan dapat melahirkan wacana pemahaman yang lebih bermakna dan fungsional bagi manusia. Hermeneutika dapat dilihat dari berbagai pendekatan, di antaranya: 1) pendekatan bahasa(linguistic) Penelitian matan hadits ditinjau dari sudut pendekatan bahasa mencakup dua hal. Pertama, penelitian terhadap keaslian kata ditinjau dari sudut dikenal tidaknya kata itu pada kurun masa kenabian dan sahabat. Kedua, ketepatan kata yang digunakan oleh periwayat yang meyakinkan sesuai dengan kejadian di masa Nabi. 2) Pendekatan konteks historis Pendekatan ini dilakukan sebagai satu usaha dalam mempertimbangkan kondisi historis pada saat hadits dimunculkan. Pendekatan semacam ini telah diperkenalkan oleh ulama hadits sejak dahulu dengan nama ilmu asbabul wurud. 3) Pendekatan sosiologis dan antropologis Pendekatan sosiologis menyoroti sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan pendekatan antropologis adalah analisa yang dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku dalam sebuah tatanan nilai yang dipegang dalam kehidupan manusia. 4) Pendekatan falsafi Pendekatan ini berdasarkan logika dan rasio. Model ini dikembangkan oleh ulama yang menolak hadits yang bertentangan dengan akal.11 C. Cara mengamalkan hadits nabi 1 - Tidak didapati hadits shahih yang bertentangan dengan hadits shahih yang mau diamalkan, sebagaimana yang telah di jelaskan oleh al-hafiz Ibnu Hajar didalam Syarah Nukhbah: Artinya : Hadits yang Maqbul ( diterima terdiri dari shahih dan hasan ) terbagi juga kepada yang boleh diamalkan dan tidak boleh diamalkan, karena jika tidak terdapat bersamanya hadits yangbertentangan dengannya maka hadits tersebut dijadikan hukum ( diamalkan ). 11 Kurdi dkk, Hermeneutika al-Quran & Hadits, Elsaq Press: Yogyakarta, 2010, hlm. 375
  4. 8. 2 - Kalau terdapat hadits yang bertentangan dengannya maka masalah ini menjadi beberapa bagian: a . Jika hadits yang bertentangan dlo`if dan shahih maka diamalkanlah hadits yang shahih. b . Jika hadits bertentangan shahih dan shahih, maka dikumpulkan hukumnya jika bisa atau boleh dikumpulkan dan disatukan. c . Jika hadits tersebut tidak dapat dikumpulkan dan disatukan maka perlu mengetahui mana diantara keduanya datang terdahulu dan datang kemudian, jika diketahui, maka yang terdahulu datangnya menjadi Mansukh, sementara yang datang terbelakang di sebut Nasikh, yang diamalkan adalah hadits yang Nasikh. d . Kalau tidak diketahui mana yang terdahulu dan terbelakang, maka perlu menggunakan cara pentarjihan ( pengkuatan ) hadits yang dilihat dari segi sanad, matan dan yang lainnya. e . Jika tidak mampu di tarjihkan diantara kedua hadits tersebut, maka kedua-kedua hadits tersebut tidak dapat diamalkan selama tidak dapat jalan keluar untuk pentarjihannya. f . Apabila salah satu hadits memiliki makna umum, yang lainnya bersifat khusus maka kita mendahulukan dalam mengamalkan hadits yang khusus. g . Apabila salah satunya Muthlak yang lainnya muqayyad, maka didahulukan hadits yang Muqayyad. h . Bahwa hadits yang mau diamalkan tidak khusus bagi Rasul, atau Rasul mengkhususkannya kepada seseorang.
  5. 9. BAB III KESIMPULAN Dalam memahami hadits maka diperlukan beberapa metode yang harus diketahui, namun juga terdapat berbagai corak atau pendapat dalam memahami hadits ini diantaranya perbedaan pendapat antara kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis Di antara beberapa ulama yang menawarkan metode dalam memahami hadits adalah Syaikh Yusuf Qardhawi, diantara metode tersebut adalah Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur‟an, Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat, Memadukan Hadits-Hadits yang kontradiktif (mukhtalaful hadits), Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits, dll Selain itu dalam dalam memahami hadits kita juga dituntut mengetahui ilmu-ilmu yang membantu dalam memahami hadits ini. Ilmu-ilmu yang dimaksud yaitu seperti asbabul wurud (sebabsebab), tawarih al mutun (sejarah matan hadits), al lughah (berbahasa arab) dan hermeneutika (penafsiran). Serta beberapa cara dalam pengamalan hadits dalam kehidupan kita sebagai berikut; jika hadits yang bertentangan dlo`if dan shahih maka diamalkanlah hadits yang shahih, jika hadits bertentangan shahih dan shahih, maka dikumpulkan hukumnya jika bisa atau boleh dikumpulkan dan disatukan, kalau tidak diketahui mana yang terdahulu dan terbelakang, maka perlu menggunakan cara pentarjihan ( pengkuatan ) hadits yang dilihat dari segi sanad matan beserta yang lainnya, dan perlu diketahui bahwa hadits yang mau diamalkan tidak khusus bagi Rasul, atau Rasul mengkhususkannya kepada seseorang. Daftar Pustaka: Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas Hadits Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001 Kurdi dkk, Hermeneutika al-Quran & Hadits, Elsaq Press: Yogyakarta, 2010 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi, teras : Yogyakarta, 2008 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah An-Nabawiyah, Al-Qâhirah: Dâr alSyurûq,2002, http://www.kajiansunnah.net/2011/11/8-kaidah-memahami-sunnah.html (diakses pada 30 September 2013) http://abuimam30.blogspot.com/2011/06/metode-pemahaman-hadis.html (diakses pada 30 September 2013) http://shirazy92.blogspot.com/search?q=Metode+Memahami+Hadits+terhadap+Isuisu+Aktual+dan+Kontemporer (diakses pada 30 September 2013) http://mamanpermatahati.blogspot.com/search?q=Metode+Memahami+Hadits+nabi(diakses pada 30 September 2013) http://allangkati.blogspot.com/search?q=Mengamalkan+hadits+Shahih(diakses pada 30 September 2013)




[1] Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim .Asbabul Wurud:Study Kritis Atas Hadits Nabi.pendekatan sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 : Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 24-25
[2]  Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah An-Nabawiyah, Al-Qâhirah: Dâr al-Syurûq, 2002, hlm. 93
[3] Yusuf al-Qaradhawi,al-madkhal li-dirasah al-sunnah al-nabawiiyah(kairo:maktabah wahbah,1992)hlm 69-71
[4] Suryadi, metode kontemporer memahami hadits nabi.teras:yogyakarta,2008.hlm.137
[5] Khatib Al-Baghdadi, Al-Jami‟ Li Akhlak Ar-Rawi Wa Adabu As-Sami', Jilid 1, hlm. 270.

[6]

0 Response to "MAKALAH KAIDAH PEMAHAMAN HADIST"

Post a Comment