MAKALAH MASALIKUL ILLAT




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masalik al-illah adalah jalan menemukan alasan (illat) yang digunakan dalam penetapan hukum. Secara metodologis, hal ini bisa dilakukan dengan memasukkan hikmah hukum terhadap illat hukum. Dalam kajian ushul fiqih, masalikul illat dibagi menjadi sepuluh. Yaitu : ijma’ (konsensus ulama’), nash (teks)yang jelas (sharih), ima’ (pertanda samar), As-Sabru (Eksperimen) dan At Taqsim ( diversivikasi, menampakkan satu hal pada banyak masalah yang berbeda beda), munasabah (keserasian antara illat khusus dengan hukum), Syibh (penyerupaan), ad-dauron, at-thordu, tanqihul manath (membuktikan tempat pijakan hukum), dan ilghoul fariq (menganggurkan perbedaan).

Dalam beberapa tulisan menyebutkan bahwa hal ini menyiratkan beberapa hal penting. Pertama, adanya pengakuan yang mutlak terhadap ijtihad sebagai upaya pengembangan masalikul illat. Kedua, menggabungkan antara kebutuhan ijtihad dengan kewajiban merealisasikan kemaslahatan.[1]
Pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur'an maupun Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berrubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fiqh. Sebagai bentuk paling praktis dari Syari at, wajar jika fiqh dianggap yang paling bertangung jawab untuk memberikan solusi agar perubahan dan perkembangan masyarakat tetap berada dalam bimbingan atau koridor Syari at.
Untuk tujuan pengembangan fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambarkan dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fighiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) memaham Syari'at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatas berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Bahkan fiqh dalam pengertian kompendiun yurisprudensi pun banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam kontek metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli).




B.     Rumusan Masalah

1.      Definisi Manhaji
2.      Implementasi Manhaji
3.      Contoh Manhaji
BAB II
PEMBAHASAN
a)      Definisi Manhaji
Manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang disusun oleh imam madzhab. Artinya dalam kegiatan pengambilan hukum (Ijtihad) sebuah permasalahan, digunakan metode yang dilakukan oleh para ulama ulama terdahulu.
Dalam prosedur fatwa MUI disebutkan “Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-Qowaid al-Ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam- mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan menggunakan metode: mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjih), menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (Ilhaqi) dan Istinbathi”.[2]
Kegiatan Istinbath al-Ahkam ternyata dikalangan NU dewasa ini bukan dimaknai pengambilan hukum secara langsung dari sumber aslinya. Akan tetapi lebih kepada mentathbiq (mengaplikasikan) secara dinamis nash-nash fuqaha.  Sedangkan Istinbathul al-Ahkam langsung dari sumbernya yang primer yang cenderung dipahami dengan  kerja Ijtihad Muthlaq, masih sulit untuk dilakukan karena keterbatasan-keterbatasn yang disadari, terutama dibidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh para mujtahid.[3]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengambilan hukum  merupakan kerja usaha ijtihady, yang  medan operasionalnya berupa dalil-dalil yang dzanny[4] (dalil-dalil yang berdasarkan logika ataupun nalar ahli ijtihad).


b)     Implementasi Manhaji
Kualifikasi sebagai mujtahid merupakan syarat muthlaq sebagai penggali hukum, dan setelah kualifikasi tersebut dipenuhi, maka seorang mujtahid menggunakan kualifikasi tersebut untuk merespon persoalan aktual yang sedang membutuhkan solusi agama.  Dengan beberapa langkah berikut:
·         Menghimpun berbagai disiplin Ilmu yang berkaitan dengan objek permasalahan, antara lain harus mengetahui Ilmu Gramatika Arab, Ayat-ayat al-Quran, hadits-hadits Nabi, pendapatpendapat Ilmu, serta metode-metode Illat.
·         Tanpa terikat fanatisme madzhab tertentu.
Analisa permsalahan dengan langkah-langkah berikut;
1.      Meneliti Nash-nash al-Quran. Ketika menemukan ayat-ayat yang menjelaskan objek permasalahan, secara nash atau dzahir, maka itu yang menjadi pegangan hukum.
2.      Meneliti sunnah Rasulullah. Bila ada penjelasannya, maka itulah yang dijadikan pijakan hukum.
3.      Meneliti hasil-hasil ijma’ yang shahih dari para mujtahid terdahulu.
4.      Usaha Qiyas, dengan menggali illah hukumnya. Kemudian illah tersebut diterapkan sesuai dengan Ijtihadnya, sesuai dengan Masaliku al-‘Illah-nya.[5]
Salah satu cara yang efektif untuk melakukan Ijtihad di era sekarang dikarenakan sulit ditemui seseorang yang mengumpulkan segudang persyaratan sebagai mujtahid, adalah Itjihad Jama’i.[6]

c)      Contoh Manhaji
Menyamakan beras dengan gandum dari segi status hukum ribawi karena ada unsur makanan.
·         Beras adalah kasus cabang (far’) yang tidak dapat kejelasan ada tidaknya status hukum ribawi dalam dalil nash (Al-Qur’an dan As Sunnah) maupun Ijma’, sehingga perlu dicarikan penetapan hukumnya.
·         Gandum adalah kasus induk (ashl) yang ketetapannya ada pada nash hadist.
·         “Status sebagai komoditi ribawi” adalah hukum ashl yang ditetapkan dalam nash hadist.
·         Unsur “makanan” adalah illat yang mengumpulkan beras dan gandum, sehingga menunjukkan atas hukum yang sama, yakni sama-sama berstatus sebagai komoditi ribawi

BAB III
PENUTUP
a)      Kesimpulan
Ushul Fiqih sebagai dasar-dasar metode dalam Istinbathu al-Ahkam, sudah lama dicetuskan oleh para ulama, mulai dari golongan Ulama salaf yang terbagi menjadi dua Syafi’iyah (yang kemudian dikenal dengan jumhur), dan Hanfiyah, yang pada akhirnya muncul golongan mutaakhirin dengan kolaborasi kedua metode tersebut (deduktif; Syafi’iyah, Induktif; Hanafiyah).  Perangat metode itu digunakan mereka guna menjawab masalah-masalah yang semakin kompleks, dan tak terbendung. Qoul Qadim dan Qoul Jadid menjadi salah satu bukti keniscayaan sebuah hasil Ijtihad  yang berbeda, yang tidak terlepas dengan perbedaan sosio-kultural dan masalah yang dihadapi.
Sehingga dibutuhkan usaha penyadaran diri akan pentingnya telaah ulang metode qouly yang sampai saat ini masih digunakan, yang berdampak makin banyaknya masalah-masalah yang mauquf. Dengan tetap memperhatikan hasil ijtihad sebagai perbandingan, sudah saatnya metode manhaji dalam menelorkan sebuah hukum digalakkan.














DAFTAR PUSTAKA
1.      Umdah el Baroroh, Tutik Nurul janah, Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia, Pati, PUSATFISI, 2016.
2.      http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=105:bagaimana-metode-penetapan fatwa-di-mui&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66. 11:06.
3.      KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004. Yogyakarta; LkiS Printing Cemerlang.
4.      DR. Wahbah Azzuhaily, Ushlu al-Fiqhi al-Islamy, 1987. Daru al-Fikr; Damaskus. Juz. 2.
5.      Jamal ma’mur Asmani, Fiqih Sosial, Antara Konsep Dan Implementasi. 2007, Surabaya; Khalista.



[1] Umdah el Baroroh, Tutik Nurul janah, Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia, Pati, PUSATFISI, 2016, Hlm: 74.
[2] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=105:bagaimana-metode-penetapan-fatwa-di-mui&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66. 11:06.
[3] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004. Yogyakarta; LkiS Printing Cemerlang. Hlm. 24-25.
[4] DR. Wahbah Azzuhaily, Ushlu al-Fiqhi al-Islamy, 1987. Daru al-Fikr; Damaskus. Juz. 2. Hlm. 1052

[5] Jamal ma’mur Asmani, Fiqih Sosial, Antara Konsep Dan Implementasi. 2007, Surabaya; Khalista. Hlm. 261.
[6] Ibid.. Hlm. 268

0 Response to "MAKALAH MASALIKUL ILLAT"

Post a Comment