RESUME FIQH SOSIAL MASALIKUL ILLAT





Masalikul illah adalah jalan menemukan alasan (illat) yang digunakan dalam penetapan hukum. Secara metodologis, hal ini bisa dilakukan dengan memasukkan hikmah hukum terhadap illat hukum. Dalam kajian ushul fiqih, masalikul illat dibagi menjadi sepuluh. Yaitu : ijma’ (konsensus ulama’), nash (teks)yang jelas (sharih), ima’ (pertanda samar), As-Sabru (Eksperimen) dan At Taqsim ( diversivikasi, menampakkan satu hal pada banyak masalah yang berbeda beda), munasabah (keserasian antara illat khusus dengan hukum), Syibh (penyerupaan), ad-dauron, at-thordu, tanqihul manath (membuktikan tempat pijakan hukum), dan ilghoul fariq (menganggurkan perbedaan).

Dalam beberapa tulisan menyebutkan bahwa hal ini menyiratkan beberapa hal penting. Pertama, adanya pengakuan yang mutlak terhadap ijtihad sebagai upaya pengembangan masalikul illat. Kedua, menggabungkan antara kebutuhan ijtihad dengan kewajiban merealisasikan kemaslahatan.[15] Umdah el Baroroh, Tutik Nurul janah, Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia, Pati, PUSATFISI, 2016, hlm: 74
Suatu pemikiran tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia muncul ke permukaan sebagai refleksi dari setting social yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh kondisi sosial berpengaruh terhadap pemikiran seseorang, sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendapat atau pemikiran seseorang dan bahkan kebijakan-kebijakan yang lahir dari suatu otoritas politik merupakan buah dari zamannya.
Proposisi di atas mungkin benar jika kita menggunakannya untuk melihat kasus perkembangan hukum positif yang memang lahir dari dan untuk masyarakat atau lahir dari suatu otoritas politik untuk masyarakat. Namun dalam melihat fiqh, percaya sepenuhnya akan kebenaran proposisi di atas akan membuat kita terjebak dalam pola pemahaman yang menempatkan fiqh sejajar dengan ilmu-ilmu sekular lainnya. Pada hal, fiqh baik pada masa-masa pembentukan maupun pengembangannya tidak pernah bisa terlepas dari interfensi "samawi". Inilah yang membuat fiqh berbeda dengan ilmu hukum umum. Fiqh menjadi suatu disiplin yang unik, yang mampu memadukan unsur "samawi" dan kondisi aktual "bumi", unsur lokalitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal pikiran. Oleh karena itu, memahami sejarah
perkembangan fiqh dengan hanya mengandalkan paradigma ilmu-ilmu sosial tidak akan sampai pada kesimpulan yang benar.
Namun demikian, melihat fiqh hanya sebagai sesuatu yang sakral juga merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Cara demikian merupakan bentuk pengingkaran terhadap kenyataan sejarah. Kenyataan bahwa pada awal perkembangannya terdapat fiqh Iraq dan fiqh Madinah, atau bahkan Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang lahir dari Imam al-Syafii, membuktikan bahwa faktor sosial budaya, disamping faktor kapasitas keilmuan masing-masing mujtahid, memberikan pengaruh cukup kuat terhadap perkembangan fiqh.
Dengan gambaran di atas, jelas bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan fiqh menuntut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang watak bidimensional --dimensi kesakralan dan keduniawian--fiqh. Penglihatan serta penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan fiqh benar benar sejalan dengan watak aslinya. Fiqh tidak menjadi produk pemikiran "liar" yang terlepas dari bimbingan wahyu dan pada saat yang bersamaan fiqh juga tidak menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Dengan demikian faktor teologis maupun etika harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengembangkan fiqh, disamping sudah barang tentu faktor perubahan masyarakat.itu sendiri.
Pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur'an maupun Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berrubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fiqh. Sebagai bentuk paling praktis dari Syari at, wajar jika fiqh dianggap yang paling bertangung jawab untuk memberikan solusi agar perubahan dan perkembangan masyarakat tetap berada dalam bimbingan atau koridor Syari at.
Untuk tujuan pengembangan fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambarkan dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fighiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) memaham Syari'at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatas berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Bahkan fiqh dalam pengertian kompendiun yurisprudensi pun banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam kontek metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli)
http://www.nu.or.id/post/read/7209/fiqh-sosial--upaya-pengembangan-madzhab-qauli-dan-manhaji
Contoh – Contoh Bermazhab Metodologis
1.      Saksi bagi wanita. Dalam fiqh salaf, perempuan tidak boleh menajadi saksi kecuali kalau jumlahnya dua ditambah satu laki-laki. Metode urf, yakni situasi dan kondisi sosial saat itu dimana perempuan tidak terbiasa dalam aktivitas perdagangan dan transaksi keuangan, sehingga tidak mempunyai pengalaman dan kemampuan dalam bersaksi. Saat ini, perempuan sudah aktif memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan  dan pengalaman di lembaga-lembaga pendidikan tingkat tinggi di beberapa universitas. Selain itu, bersaksi dalam perdagangan saat ini sudah cukup duduk manis di kantor lewat kertas, sehingga di banyak lembaga PERBANKAN, justru wanita yang aktif di dalam kantor, laki-laki justru di lapangan. Makanya, saksi satu wanita tidak menjadi masalah. Kita bisa menggunakan metode urf dan maslahah, bahwa hukum harus membawa kemanfaatan untuk semua orang tanpa mendiskriditkan yang lain.[1][7] Jamal makmur, 2007, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya : Khalista, hlm. 329.
2.      Mengenai miqat haji dan umrah bagi jamaah yang naik pesawat. Miqat tersebut sudah ditetapkan dalam hadis Nabi Saw, yng artinya sebagai berikut :[2][8] Kasuwi saiban, Op.cit.,
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya Rasulullah Saw. Menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzal Hulaifah, untuk penduduk Syam di al-Juhfah, untuk penduduk Yaman di Yalamlam, dan untuk Najad di Qarn. Maka tempat-tempat itulah untuk miqat mereka, dan bagi orang yang melewati tempat-tempat tersebut dari selain penduduknya yang akan menunaikan ibadah haji dan umrah. Maka barang siapa yang tinggal di tempat-tempat yang tidak disebut di atas maka miqatnya di tempat ia tinggal, sehingga penduduk Makkah miqatnya cukup dari Makkah. (HR. Bukhari)
Meurut Syaikh Abdullah bin Zaid al-Mahmud, kepala Peradilan Agama Qatar, seperti yang dikutip Kasuwi Saiban, bahwa miqat diperbolehkan dari Jeddah bagi jamaah yang naik pesawat. Ia berargumentasi bahwa hikmah ditetapkannya miqat haji pada tempat tertentu karena tempat-tempat tersebut berada di jalan masuk ke Makkah dan semuanya terletak di pinggir Hijaz. Oleh karena Jeddah menjadi jalan bagi jamaah yang naik pesawat dan dengan alasan darurat mereka butuh untuk menentukan miqat di bumi untuk memulai ihram haji maupun umrah, maka diperbolehkan menetapkan miqat di Jeddah tersebut.



Madzhab Manhaji
Sedangkan bermadzhab Manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang disusun oleh imam madzhab[7]. Artinya dalam kegiatan pengambilan hukum (Ijtihad) sebuah permasalahan, digunakan metode yang dilakukan oleh para ulama ulama terdahulu.
Dalam prosedur fatwa MUI disebutkan “Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-Qowaid al-Ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam- mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan menggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjih), menganalogkan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (Ilhaqi) dan Istinbathi”[8].
Kegiatan Istinbath al-Ahkam ternyata dikalangan NU dewasa ini bukan dimaknai pengambilan hukum secara langsung dari sumber aslinya. Akan tetapi lebih kepada mentathbiq (mengaplikasikan) secara dinamis nash-nash fuqaha.  Sedangkan Istinbathul al-Ahkam langsung dari sumbernya yang primer yang cendrung dipahami dengan  kerja Ijtihad Muthlaq, masih sulit untuk dilakukan karena keterbatasan-keterbatasn yang disadari, terutama dibidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh para mujtahid[9].
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengambilan hukum  merupakan kerja usaha ijtihady, yang  medan operasionalnya berupa dalil-dalil yang dzanny[10].
4.      Teknik Ijtihad kontemporer
Kualifikasi sebagai mujtahid merupakan syarat muthlaq sebagai penggali hukum, dan setelah kualifikasi tersebut dipenuhi, maka seorang mujtahid menggunakan kualifikasi tersebut untuk merespon persoalan aktual yang sedang membutuhkan solusi agama.  Dengan beberapa langkah berikut:
·         Menghimpun berbagai disiplin Ilmu yang berkaitan dengan objek permasalahan, antara lain harus mengetahui Ilmu Gramatika Arab, Ayat-ayat al-Quran, hadits-hadits Nabi, pendapatpendapat Ilmu, serta metode-metode Illat.
·         Tanpa terikat fanatisme madzhab tertentu.
Analisa permsalahan dengan langkah-langkah berikut;
1.      Meneliti Nash-nash al-Quran. Ketika menemukan ayat-ayat yang menjelaskan objek permasalahan, secara nash atau dzahir, maka itu yang menjadi pegangan hukum.
2.      Meneliti sunnah Rasulullah. Bila ada penjelasannya, maka itulah yang dijadikan pijakan hukum.
3.      Meneliti hasil-hasil ijma’ yang shahih dari para mujtahid terdahulu.
4.      Usaha Qiyas, dengan menggali illah hukumnya. Kemudian illah tersebut diterapkan sesuai dengan Ijtihadnya, sesuai dengan Masaliku al-‘Illah-nya[11]

Salah satu cara yang efektif untuk melakukan Ijtihad di era sekarang dikarenakan sulit ditemui seseorang yang mengumpulkan segudang persyaratan sebagai mujtahid, adalah Itjihad Jama’i[12]
5.      Contoh Manhaji
Masalah zakat tanah sewaan, apakah yang wajib membayar zakat si penyewa atau si pemilik tanah?. Dalam hal ini DR. Yusuf Qardawi menegaskan, bahwa hendaknya penyewa mengeluarkan zakat tanaman atau buah yang dihasilkan dari tanah sewaan tadi jika memang telah sampai nishab, dengan mengurangi harga sewa tanah yang dibayarkan kepada pemilik tanah, karena harga sewa tanah tersebut dianggap hutang yang menjadi  beban penyewa. Dengan demikian ia hanya mengeluarkan zakat hasil bersih dari tanaman tersebut. Adapun pemilik tanah yang meyewakan, juga harus mengeluarkan zakat dari pembayaran sawah tanah yang diterimanya jika sampai 1 nishab. Dengan demikian, sipemilik tanah dan yang menyewa tanah memiliki sama-sama mengeluarkan zakat, tanpa ada yang diuntungkan atu dirugikan.
Pendapat Yusuf Qordowi ini tidak pernah diutarakan oleh para imam Mujtahid terdahulu. Dalam kasusu ini, mayoritas justru berpendapat bahwa zakat tanaman dari tanah sewaan, dibebankan atas orang yang menyewa. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah, zakat tersebut dibebankan atas pemilik tanah[13].

C.    Kesimpulan
Ushul Fiqih sebagai dasar-dasar metode dalam Istinbathu al-Ahkam, sudah lama dicetuskan oleh para ulama, mulai dari golongan Ulama salaf yang terbagi menjadi dua Syafi’iyah (yang kemudian dikenal dengan jumhur), dan Hanfiyah, yang pada akhirnya muncul golongan mutaakhirin dengan kolaborasi kedua metode tersebut (deduktif; Syafi’iyah, Induktif; Hanafiyah).  Perangat metode itu digunakan mereka guna menjawab masalah-masalah yang semakin kompleks, dan tak terbendung. Qoul Qadim dan Qoul Jadid menjadi salah satu bukti keniscayaan sebuah hasil Ijtihad  yang berbeda, yang tidak terlepas dengan perbedaan sosio-kultural dan masalah yang dihadapi.
Sehingga dibutuhkan usaha penyadaran diri akan pentingnya telaah ulang metode qouly yang sampai saat ini masih digunakan, yang berdampak makin banyaknya masalah-masalah yang mauquf. Dengan tetap memperhatikan hasil ijtihad sebagai perbandingan, sudah saatnya metode manhaji dalam menelorkan sebuah hukum digalakkan.

[7] Ibid. Hlm. 267
[8] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=105:bagaimana-metode-penetapan-fatwa-di-mui&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66. 11:06
[9] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial Cet. IV. 2004. Yogyakarta; LkiS Printing Cemerlang. Hlm.24-25
[10] DR. Wahbah Azzuhaily, Ushlu al-Fiqhi al-Islamy, 1987. Daru al-Fikr; Damaskus. Juz. 2. Hlm. 1052
[11] Jamal ma’mur Asmani, Fiqih Sosial, antara Konsep dan implementasi. 2007, Surabaya; Khalista. Hlm. 261.
[12] Jamal ma’mur Asmani, Ibid.. Hlm. 268
[13] Dr. Kasuwi Saiban. Op. Cit.. Hlm. 127


Rekonstruksi Metode Bermazhab Secara Manhajiy: Sebuah Tawaran
            Ketika berbicara tentang upaya melakukan studi  rekonstruksi terhadap suatu konsep, tentu yang paling pertama diketahui adalah pengertian rekonstruksi itu sendiri. Rekonstruksi atau reconstructie (Perancis), reconstruction (Inggris) berarti sebuah usaha atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau perangkaian kembali.[31] Dalam sebuah aliran dalam filsafat pendidikan dikenal sebuah teori rekronstruksionisme yang mengatakan bahwa bagi aliran ini, persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan dilihat jauh ke depan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata peradaban yang baru.[32] Menurut Hasan Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer.[33]
            Dalam konteks teori-teori tersebut di atas, konsep bermazhab secara manhaji yang telah diputuskan oleh Musyawarah Nasional (MUNAS) NU sebagai salah satu metode untuk memecahkan masalah-masalah hukum adalah salah satu bentuk produk kebudayaan.[34] Sementara kaidah-kaidah fiqh dan kaidah-kaidah ushul fiqh adalah warisan-warisan Islam yang seharusnya senantiasa dituntut menyesuaikan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Oleh karenanya kiranya perlu dilakukan rekonstruksi agar senantiasa kapabel untuk menjawab problem ke depan. Ini penting dilakukan karena teks terbatas sementara permasalahan selalu muncul.[35] Sehingga teks-teks tersebut menjadi tidak cukup memadai untuk menjawab problem-problem kontemporer.
            Ketidakcukupan tersebut dapat ditelusur ketika kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah dihadapkan kepada permasalahan yang belum ada ketentuan hukum baik dalam al-Qur’an, Assunnah maupun dalam kitab-kitab klasik tentu akan tidak cukup untuk dapat menjawabnya. Sebagai contoh masalah asuransi,[36] maka akan lebih tepat jika status hukumnya dipertimbangkan dari segi ada atau tidaknya maslahah dan untuk melihat mashlahah itu akan lebih tepat jika dengan melibatkan teori ekonomi yang terkait, tidak melulu dengan kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah, walaupun tanpa harus meninggalkan sikap bermazhab yang telah menjadi komitmen Nahdlatul Ulama.
            Secara operasional upaya rekonstruksi metode bermazhab secara manhaji harus selalu memperhatikan aspek maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syari’at),[37] sehingga hukum yang didapatkan tidak akan terlepas dari karakteristik dasar hukum Islam yaitu takammul (sempurna, bulat, tuntas), wasathiyyah (imbang), dan harakah (dinamis). Untuk menjawab tantangan dan memecahkan problema masa kini, kiranya sudah saatnya dilakukan rekonstruksi bangunan metode ushul fiqih tersebut untuk dikawinkan dengan metode saintifik modern agar dihasilkan sebuah keputusan hukum yang aplicable.[38]  Perkawinan itu dilakukan dengan mengambil elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik maupun dari Barat modern. Karena penolakan secara besar-besaran dan a priori terhadap kedua tradisi adalah tidakilmiah.

[31] Lihat Bryan A. Garner (ed.), Black’s Law Dictionary (USA: West Group, 1999), h. 1278. Juga Osman Raliby,  Kamus Internasional (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 439. Juga John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Jakarta: gramedia Pustaka Utama, 1976), Cet. XXIII, h. 471.
[32] Ali Mudhofir,  Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1996), h. 213.
[33] Ia menawarkan ide teologi baru, yakni bahwa teologi tidak sekedar teologi doktriner tetapi lebih merupakan ideology revolusi ideologis yang dapat memotivasi kaum muslim modern untuk bereaksi melawan despotisme dan penguasa otoriter. Lebih lanjut lihat tulisan Hasan hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Matbuli, 1991).
[34] Secara ontologis, kebudayaan dapat dipahami sebagai produk dari eksistensi diri manusia, yang meliputi semua aspek kegiatan manusia baik dibidang sosial, politik, ekonomi, kesenian, ilmu, dan teknologi maupun agama. Lihat Musa Asy’arie,  Filsafat Islam tentang Kebudayaan (Yogyakarta: LESFI, 1999),  h. 63.
[35] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Assyaukani (Jakarta: PT. Logos wacana Ilmu, 1999),  h. 41.
[36] Sistem asuransi sudah dikenal di duni Barat sejak abad XIV Masehi sementara di dunia Timur, asuransi baru dikenal pada abad XIX masehi dan para ulama mujtahid pencetus kaidah ushul fiqh maupun kaidah fiqhiyyah hidup pada sekitar abad II s. d IX Masehi. Lihat Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),  h. 312.
[37] Abu Ishaq assyatibi,  al-Muwafaqat (Beirut: Dar al-Makrifah, tt.). Juz IV,  h. 529.
[38] A. Qodri Azizi, Loc. Cit.
Ketidakcukupan Metode-metode Klasik
Perkembangan pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya[11] telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangkan berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula.[12] Dalam konteks ini, ijtihad[13] merupakan sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.
Dalam kontek mengelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqh merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer.[14] Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer menjadi lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan ilmu-ilmu Barat. Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidak cukupan ini telah menjadi sorotan sejumlah pakar muslim. Al-Faruqi misalnya menyatakan bahwa ketidakcukupan metode-metode tersebut terungkap dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral. Kecenderungan pertama adalah pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik yakni memasukkan problem-problem modern di bawah kategori-kategori legal, sehingga dengan cara demikian mereduksi mujtahid kepada faqih (jurist) dan mereduksi ilmu ke dalam fiqh. Kecenderungan kedua adalah menghilangkan seluruh criteria dan standar rasional dengan menggunakan "metodologi yang murni intuitif dan esoteris".[15]
Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Abdul Hamid Sulayman yang mengaitkan krisi intelektualisme muslim modern dengan ketidakcukupan metodologis yang menimpa pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir yang semata-mata linguistik dan legalistik. Konsekuensinya meskipun seorang faqih (jurist) dididik untuk menangani problem-problem legal spesifik, kenyataannya dia terus dipahami sebagai orang yang serba bisa, intelektual universal yang mampu memecahkan seluruh problem masyarakat modern.[16] Akibatnya untuk menjawab problem-problem kontemporer masih selalu mengandalkan informasi dari kitab-kitab klasik secara tektual tanpa diimbangi kemauan menangkap makna substansinya apalagi metode berpikirnya.
Aspek lain dari ketidakcukupan metode-metode klasik diungkapkan oleh Muna Abu Fadl. Alasan metode klasik tidak memadai, menurutnya, adalah bahwa bila studi fenomena sosial mengharuskan suatu pendekatan holistic yang dengan cara itu relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis.[17] Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.[18]
Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul al-fiqh dan qawaid al-Fiqhiyyah. Dinamika yang dimaksud adalah bahwa perlu dilakukan upaya inkorporasi wahyu ke dalam penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana-sarjana muslim dari paksaan epistemologi Barat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam (self image of Islam) di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang.[19] Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer.
                                                                                                                           

[11] Menurut Nourouzzaman, sejarah adalah peristiwa masa lalu sebagai cermin masa yang akan datang. Lihat Nourouzzaman ash-Shiddieqiy, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 12.
[12] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 227.
[13] Ijtihad menurut ulama ushul fiqh ialah usaha seseorang ahli fikih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.. Lihat Ahmad Abu Zahrah, Ushul al- Fiqh, (Dar al-Tsaqafah, t.t.), h. 216. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Edisi terjemahan Saifullah Ma’shum dkk., Cet. VIII, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003), h. 567. Juga Abdul Wahab Khallaf,  Ilm Ushul al-Fiqh, Cet. XII, (Kairo: Dal al-Qalam, 1978),  h. 216.
[14] Menurut Abdillah Ahmad An-Na’im, hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan-kesulitan dalam memadukan pola pemikiran fikih klasik dan fikih kontemporer dalam beberapa hal, antara lain yang berkaitan dengan hukum publik, konstitusionalisme modern, hukum pidana, hukum internasional modern serta Hak Asasi manusia. Baca  Adullahi Ahmed An-na’im,  Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, (New York: Syracusse University Press, 1990).
[15] Ismail R. al-Faruqi, Islamization of knowledge: General principles and Work Plan, (Herdon, VA: IIIT, 1987), h. 19.
[16] Louay Safi Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 20.







0 Response to "RESUME FIQH SOSIAL MASALIKUL ILLAT"

Post a Comment