PERAN SOSIAL REMAJA
Gejolak emosi remaja dan masalah remaja pada
umumnya disebabkan antara lain oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak
ia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih harus terus
mengikuti kemauan orang tua.
Rasa ketergantungan pada orang tua dikalangan
anak-anak Indonesia lebih besar lagi, karena memang dikehendaki demikian oleh
orang tua. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh psikolog bangsa
turki ternama C. Kagitcibasi yang meneliti sejumlah 20.403 orang tua dari
seluruh dunia (1984). Dalam penelitian itu terbukti bahwa ibu-ibu dari suku
jawa dan sunda mengharapkan anak mereka agar menuruti orang tua (Jawa: 88%,
Sunda: 81%). Demikian pula para ayah dari kedua suku tersebut berharapan yang
sama (Jawa: 85%, Sunda: 76%). Harapan itu berbeda keadaannya dari bangsa-bangsa
Korea, Singapura, dan Amerika Serikat. Mereka berharap agar anaknya bisa
mandiri (ibu Korea: 62%, ibu Singapura: 60%, ibu AS: 51&, ayah Korea: 68%,
ayah Singapura: 69%, ayah AS: 43%)
pola harapan orang tua Indonesia (yang dalam
penelitian C. Kagitcibasi diwakili oleh suku-suku Jawa dan Sunda) yang
menekankan agar anak selalu menurut kepada orang tua mungkin adalah dalam
rangka agar anak menjadi orang seperti yang dicita-citakan oleh orang tua. Di
antara yang dicita-citakan oleh orang tua tersebut adalah prestasi sekolah yang
tinggi. Doa standar untuk anak dari orang tua (misalnya ketika anak baru lahir
atau sedang berulang tahun) adalah “semoga anakku menjadi anak yang
soleh/solehah, diberi kesehatan, kepandaian, dan berbakti kepada orang tua”.
Jarang orang tua yang berdoa agar anaknya kreatif, atau mandiri, karena hal itu
memang bukan nilai utama yang ada di masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, mengharapkan prestasi sekolah
yang tinggi dengan cara mendidik anak agar menuruti orang tua ternyata adalah
tindakan yang kurang tepat, karena menurut penelitian. A. Achir dan Ellydar Din
(1978), anak-anak yang berprestasi tinggi di sekolah justru mendapat latihan
untuk mandiri dan mengurus dirinya sendiri pada usia yang lebih awal (rata-rata
mulai usia 1,6 tahun) daripada anak-anak yang prestasi sekolahnya lebih rendah.
Demikian pula penelitian Sri Mulyani Martamah (1979) membuktikan bahwa
anak-anak keturunan WNI, keturunan Cina baik di desa maupun di kota lebih
tinggi motivasi sosialnya daripada anak-anak WNI asli. Sekali lagi hal ini
diperkirakan disebabkan oleh pola pendidikan anak-anak WNI keturunan Cina yang
lebih mandiri.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa konflik
peran sosial yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan lain
pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan-latihan agar anak dapat
mandiri sedini mungkin. Dengan kemandiriannya, anak dapat memilih jalannya
sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap.[1]
PERKEM BANGAN KEMANDIRIAN SOSIAL REMAJA
Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang
tidak berdaya, ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada
dilingkungannya hingga waktu tertentu. Seiring dengan berlakunya waktu dan
perkembangan selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari
ketergantungannya pada orang tua atau orang lain disekitarnya dan belajar untuk
mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah oleh suatu makhluk hidup, tidak
terkecuali manusia. Mandiri atau sering juga disebut berdiri di atas kaki sendiri
merupakan kemampuan seorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta
bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian dalam konteks individu
tentu memiliki aspek yang lebih luas dari sekedar aspek fisik. Melepaskan
hubungan dengan orang tua atau usaha untuk dapat berdiri sendiri, juga dapat
dijumpai pada masa sebelum remaja, meskipun belum begitu jelas bahkan untuk
sebagian terjadi secara tidak sadar. Maccoby (dalam Mönks) mengatakan bahwa sistem hubungan orangtua
yang terjadi antara usia 8 dan 12 tahun menjadi coregulasi (menentukan
bersama) dimana orangtua seharusnya memberikan kebebasan kepada anaknya untuk
menentukan sendiri situasi regulasi diri (self regulation). Hal ini
tidak akan menghalangi adanya interaksi antara orangtua dan dalam masa remaja.
Selama masa remaja, tuntunan terhadap
kemandirian ini sangat besar dan jika direspon secara cepat dapat saja
menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja
di masa mendatang, misalnya anak menjadi anak yang bergantung pada orangtua (mengalami
dependensi). Di tengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi di masa
sekarang, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi
terhadap orangtua karena tidak mendapatkan apa yang dinamakan kemandirian. Banyak
dijumpai dalam rubrik konsultasi pada majalah-majalah remaja yang dipenuhi oleh
kebingungan dan keluh kesah yang dialami remaja karena banyak aspek kehidupan
mereka yang masih diatur oleh orangtua. Salah satu contohnya adalah dalam hal
pemilihan jurusan atau fakultas ketika masuk sekolah atau perguruan tinggi. Dalam hal ini masih banyak ditemui orangtua
yang sangat menginginkan untuk memasukkan anaknya ke sekolah atau jurusan yang
mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat. Akibatnya remaja
tersebut tidak memiliki motivasi belajar, kehilangan gairah belajar.
Mencermati kenyataan tersebut, peran orangtua
sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian seorang remaja. Orangtua
diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak mereka agar dapat
mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif,
mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar
mempertanggung-jawabkan segala
perbuatanya. Dengan demikian anak akan dapat mengalami
perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orangtua.[2]
[2]Musdalifah. Perkembangan
Sosial Remaja. Dalam kemandirian. (Studi Kasus Hambatan
Psikologis Dependensi Terhadap Orang Tua), IQRA' 46. Volume 4 Juli - Desember 2007. lihat : http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/05-ifah-46-56.pdf, diakses pada, sabtu 17/01/2015. Pada Jam
12.09 WIB
0 Response to "RESUME PERAN SOSIAL REMAJA"
Post a Comment