RESUME PEMEROLEHAN LEKSIKON, FONOLOGI, PRAGMATIK, DAN PIRANTI WACANA

 



A.    Teori-teori Pemerolehan Leksikon

 

Sebelum anak dapat mengucapkan kata, dia memakai cara lain untuk berkomunikasi: dia memakai tangis dan gestur (gestur, gerakan tangan, kaki, mata, mulut, dsb). Pada mulanya kita kesukaran memberi makna untuk tangis yang kita dengar tetapi lama-kelamaan kita tahu pula akan adanya tangis-sakit, tangis-lapar, dan tangis-basah (pipis/eek). Pada awal hidupnya anak memakai pula gestur seperti senyum dan juluran tangan untuk meminta sesuatu.

Di dalam buku ini ada sebuah kasus yang dipakai sebagai patokan namanya Echa, anak Indonesia mulai memakai bentuk yang dapat dinamakan kata agak belakangan. Echa baru mengeluarkan bunyi yang dapat dikenal sebagai kata pada kekitar umur 1;5. Penentuan ini berlandasan pada pandangan Dromi (1987:15) yang mengatakan bahwa untuk suatu bentuk dapat dianggap telah dikuasai anak maka bentuk itu harus memiliki (a) kemiripan fonetik dengan bentuk kata orang dewasa, dan (b) korelasi yang ajeg antara bentuk dengan referen atau maknanya. Jadi, /tan/, misalnya, dapat dianggap telah dikuasai oleh Echa untuk merujuk pada ikan karena bentuknya mirip dan dia selalu memakai bentuk ini bila merujuk pada benda tersebut.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, mengapa awal ujaran Echa terlambat adalah bahwa anak Indonesia harus menganalisis secara mental terlebih dahulu dari dua, tiga, atau empat sukukata itu mana yang akan dia ambil. Ternyata yang diambil adalah suku yang terakhir. Hal ini sesuai dengan prinsip umum yang lebih menitik-beratkan pada peran yang ada pada akhir ujaran.[1]

Ø  Macam kata yang dikuasai

      Macam kata yang dikuasai anak mengikuti prinsip sini dan kini. Dengan demikian kata-kata apa yang akan diperoleh anak pada awal ujaranya ditentukan oleh lingkunganya.

       Dari macam kata yang ada, yakni, kata utama dan kata fungsi, anak menguasai kata utama lebih dahulu. Karena kata utama ada paling tidak tiga, yakni, nomina, verba, dan adjektiva, dari tiga ini manakah yang muncul pertama kali. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Ahli seperti Bloom (1975 dan 1993) dan Tardif (1995) menyatakan bahwa anak menguasai verba lebih awal dan lebih banyak dari pada nomina. Sebaliknya, ahli seperti Gentner (1982) berpandangan lain, yakni, anak menguasai nomina lebih dahulu dan jumlahnya pun paling banyak.[2]

Ø  Cara Anak Menentukan Makna

       Cara anak menentukan makna suatu kata bukanlah hal yang mudah. Dari masukan yang ada, anak harus menganalisis segala macam fiturnya sehingga makna yang diperolehnya itu akhirnya sama dengan makna yang dipakai oleh orang dewasa.

        Dalam hal penentuan makna suatu kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal, salah satu diantaranya adalah yang dinamakan overextension yaitu penggelembungan makna (Dardjowidjojo 2000). Diperkenalkan dengan suatu konsep baru, anak cenderung untuk mengambil salah satu fitur dari konsep itu, lalu menerapkanya pada konsep lain yang memiliki fitur tersebut. Contoh yang sering dipakai adalah konsep tentang bulan – moon. Pada waktu anak diperkenalkan dengan kata bulan, dia mengambil fitur bentuk fisiknya, yakni bulan itu bundar. Fitur ini kemudian diterapkan pada segala macam benda yang bundar seperti kue ulang tahun, jam dinding, piring, dan huruf o. Tiap kali terapanya itu ditolak, dia merevisi ”definisi” dia tentang bulan sampai akhirnya dia memperoleh makna yang sebenarnya.

 Disamping overextension atau penggelembungan ini, anak juga memakai underextension yaitu penciutan makna. Penciutan makna membatasi makna hanya pada referen yang telah dirujuk sebelumnya. Contoh konsep ini mengenai bebek diperkenalkan pada waktu anak melihat bebek dikolam, maka gambar bebek yang ada dibuku beberapa hari kemudian bukanlah bebek. Bebek harus barang hidup, dan mungkin juga dikolam.[3]

Ø  Cara Anak menguasai Makna Kata

        Anak tidak mengusai makna kata secara sembarangan. Ada strategi-strategi tertentu yang diikuti (Golinkoff dkk 1994 dalam Gleason dan Ratner 1998: 361). Anak memakai strategi referensi dengan menganggap bahwa kata pastilah merujuk pada benda, perbuatan, proses, atau atribut. Dengan strategi ini anak yang baru mendengar suatu kata baru akan menempelkan makna kata itu pada salah satu referensi diatas.

       Strategi lain yaitu adalah strategi cakupan (object scope). Strategi ini merujuk pada suatu objek merujuk pada objek itu secara keseluruhan, tidak hanya sebagian dari objek itu saja. Jadi, kalau anak diperkenalkan kepada objek seperti sepeda maka keseluruhan dari sepeda itu yang akhirnya dikuasainya, bukan hanya ban atau sedelnya saja.

       Strategi ketiga adalah strategi peluasa (extendability). Strategi ini mengasumsikan bahwa kata tidak hanya merujuk pada objek aslinya saja tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama, misalnya, anak diperkenalkan dengan objek yang bernama kucing, yang kebetulan bulunya hitam, dia akan tau bahwa kucing lain yang bulunya putih juga dinamakan kucing.

       Strategi keempat adalah cakupan kategorial (categorical scope). Strategi ini menyatakan bahwa kata dapat diperluas pemakainya untuk objek-objek yang termasuk dalam kategori dasar yang sama. Setelah diperkenalkan dengan perkutut sebagai burung, dan kemudian dia melihat beo maka dia akan tau bahwa beo juga termasuk dalam kategori dasar yang sama dengan perkutut, yakni, burung. Dia akan merujuk beo sebagai burung pula.

Strategi kelima adalah strategi “nama-baru – kategori tak bernama” (novel name-nameless category). Anak yang mendengar kata, dan setelah dicari dalam leksikon mental ternyata kata ini tidak ada rujukannya, maka kata ini akan di anggap sebagai kata baru dan maknanya ditempelkan pada objek, perbuatan, atau atribut yang dirujuk oleh kata itu. Jadi, waktu anak mendengar, misalnya, kata kancing dia akan mencari dalam leksikon mental apa rujukan dari kata itu. Ternyata rujukan itu belum ada maka anak akan menganggap kata itu kata baru dan menempelkan maknanya pada benda kancing itu. Strategi inilah yang membuat anak cepat sekali dalam menambah kosa katanya sejak umur 1;8.[4]

Strategi keenam adalah strategi konvensionalitas (conventionality). Anak berasumsi bahwa pembicara memakai kata-kata yang tidak terlalu umum tetapi juga tidak terlalu khusus. Kemungkinannya adalah sangat kecil untuk orang dewasa memperkenalkan kata binatang atau makhluk untuk merujuk seekor perkutut. Kemungkinannya juga kecil untuk dia memakai kata perkutut bangkok. Yang umum terjadi adalah bahwa dia akan memakai kata burung pada anak untuk merujuk pada perkutut itu.

A.    Teori-teori Pemerolehan Fonologi

Dalam pemerolehan fonologi, seorang anak yang baru lahir hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Hal sangat berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Sehingga dalam hal ini binatang cenderung dapat melakukan banyak hal setelah lahir. Sedangkan yang terjadi pada manusia tidak demikian, manusia hanya dapat menangis serta menggerakgerakkan anggota badannya.

            Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan dengan cara sebagai berikut:

1.      Menghilangkan konsonan akhir

Contoh : blumen à bu

               Boot à bu

2.      Mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal

Contoh : batre à bate

               Bring à bin

3.      Menghilangkan silabe yang tidak diberi tekanan

Contoh : pita à ta

               Nangis à angis

4.      Duplikasi silabi yang sederhana (reduplikasi)

Contoh : pergi à gigi

               Nakal à kakal

Penyederhanaan diatas dapat hilang apabila anak telah banyak menguasai lebih banyak segmen-segmen yang baru diperoleh serta anak mengoreksi dirinya sendiri apabila dalam pengucapan kata dirasa kurang tepat. Praktik dan koreksi diri ini.[5]

 

B.     Teori-teori Pemerolehan Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam hubunganya dengan orang lain dalam masyarakat yang sama (Ninio dan Snow 1998: 9; Verschueren 1999: 1). Pragmatik bukan merupakan komponen keempat (disamping fonologi, sintaksis, dan leksikon) pada bahasa tetapi memberika perspektif yang berbeda mengenai bahasa. Kalimat (21-23) menyampaikan maksud yang sama dengan nuansa yang berbeda.

            (21) Kamu mau pergi kemana?

            (22) Saudara mau pergi kemana?

            (23) Bapak mau pergi kemana?

Kalimat (21) dipakai oleh orang tua kepada anak, atasan kepada bawahan, orang tua kepada anak kecil, dan beberapa keadaan yang lain lagi. Kata saudara pada (22) menunjukkan jarak yang renggang atau suasana formal dan bisnis. Kata bapak pada (23) menunjukkan bahwa yang berbicara lebih muda dari yang diajak bicara, murid terhadap guru, dan lain sebagainya.

Pragmatik merupakan bagian dari perilaku berbahasa maka penelitian mengenai pemerolehan bahasa perlu pula mengamati bagaimana anak mengembangkan kemampuan pragmatiknya. Nino dan Snow ( 1996: 11) menyarankan agar kita mengamati (a) pemerolehan niat komunikatif (communicative intents) dan pengembangan ungkapan bahasanya, (b) pengembangan kemampuan untuk bercakap-cakap dengan segala urutanya, dan (c) pengembangan piranti untuk membentuk wacana yang kohesif.[6]

 

Ø  Pemerolehan Niat Komunikatif

Dari minggu-mingu pertama sesudah lahir, anak memulai menunjukkan niat komunikatifnya dengan antara lain tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Semua ini ditemukan pada saat pra-vokasi dan sering dirujuk dengan istilah protodeklaratif dan proto-imperatif.[7]

Ø  Pemerolehan Kemampuan Percakapan

Anak juga secara bertahap menguasai aturan-aturan yang ada. Seperti dinyatakan sebelumnya, percakapan mempunyai struktur yang terdiri dari tiga komponen 1) pembukaan, 2) giliran, 3) penutup. Secara naluri anak akan tahu kapan pembukaan percakapan itu terjadi. Bila orantuanya menyapa, itulah tanda bahwa percakapan akan mulai. Begitu juga dari pihak anak, anak bisa memulai percakapan itu dengan menyapa atau melakukan sesuatu kepada orangtuanya, kakaknya.[8]

C.    Pengembangan Piranti Wacana

Pada anak wacana umumnya berbentuk percakapan antara anak dengan orang dewasa atau dengan anak lain. Percakapan seperti ini dapat berjalan cukup lancar karena interlokutor anak adalah orang-orang dekat yang umumnya memberikan dukungan kalimat-kalimat penyambung (habis itu, kemana si kancil pergi?) dan yang dibicarakan hal-hal yang dikenal anak.

Pada percakapan antara orang dewasa dukungan kalimat penyambung ini tidak ada. Akan kedengaran aneh kalau antar orang dewasa ada kalimat seperti ini pak, habis itu, kemana si ahmad, pergi pak? Percakapan antar orang dewasa didasarkan pada asumsi akan adanya pengetahuan tertentu pada si interlokutor sehingga informasi sudah dapat dipilah pilih menjadi mana yang lama dan mana yang baru. Asumsi ini belum dapat diterapkan pada anak.[9]

Daftar Pustaka

Dardjowidjojo, Soenjono, Psikologinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008

Indah Nur ,Rohmani, Psikolingistik konsep&isu umum, Malang: UIN Malang Press (Anggota IKAPI,2008

 

 

 

 



[1] Sujono Dardjowidjojo,Psikolinguistik pengantar pemahaman bahasa manusia, (jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008), hlm. 257

[2] Ibid, hlm. 258

[3] Sujono Dardjowidjojo,Psikolinguistik pengantar pemahaman bahasa manusia, (jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008), hlm. 260

[4] Sujono Dardjowidjojo,Psikolinguistik pengantar pemahaman bahasa manusia, (jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008), hlm. 262

[5] Rohmani Nur Indah, Psikolinguistik Konsep& isu Umum,(Malang:UIN-Malang Press (Anggota IKAPI), 2008), hlm.104-108

[6] Sujono Dardjowidjojo,Psikolinguistik pengantar pemahaman bahasa manusia, (jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008), hlm. 264

[7] Ibid, hlm. 266

[8] Sujono Dardjowidjojo,Psikolinguistik pengantar pemahaman bahasa manusia, (jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008), hlm. 266-267

[9] Ibid, hlm. 267-268

0 Response to "RESUME PEMEROLEHAN LEKSIKON, FONOLOGI, PRAGMATIK, DAN PIRANTI WACANA"

Post a Comment